Dalam lembaran-lembaran suci Al-Qur'an, terdapat banyak sekali petunjuk tentang bagaimana seharusnya seorang Muslim menjalani kehidupannya, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun sesama manusia. Salah satu surat yang sangat menekankan pentingnya etika sosial dan spiritual adalah Surat Al-Lail (Malam Hari). Secara spesifik, ayat keenam dari surat ini memberikan landasan kuat mengenai nilai sebuah perbuatan yang dilakukan atas dasar keikhlasan dan pengorbanan diri.
Ayat ini merupakan bagian dari rangkaian ayat yang menjelaskan kontras antara dua tipe manusia dalam memandang harta benda duniawi. Ayat keenam secara spesifik memuji tindakan memberikan harta. Kata kunci di sini adalah "mensucikan jiwanya" (لِتَزَكِّيَةِ نَفْسِهِ). Ini menunjukkan bahwa tujuan utama dari bersedekah atau berinfak bukanlah sekadar mengeluarkan uang, tetapi membersihkan hati dari sifat kikir, cinta dunia yang berlebihan, dan segala penyakit hati lainnya.
Ketika seseorang memilih untuk berbagi hartanya di saat ia sendiri mungkin masih membutuhkannya, atau saat ia sangat mencintai hartanya tersebut, tindakan itu menjadi bukti nyata bahwa ia telah berhasil menundukkan hawa nafsunya kepada perintah Ilahi. Kedermawanan yang dicari dalam Islam adalah kedermawanan yang bertujuan untuk mencapai ketenangan spiritual, bukan sekadar popularitas atau pujian manusia.
Untuk memahami kedalaman makna ayat 6, kita perlu melihat konteksnya dalam Surat Al-Lail secara keseluruhan. Surat ini dimulai dengan sumpah Allah demi kegelapan malam dan terangnya siang, menegaskan bahwa usaha (amal) manusia itu berbeda-beda.
Kontras ini sangat tajam. Ayat 6 adalah jembatan penghubung yang menjelaskan motivasi di balik perbuatan baik yang disebutkan di ayat 5. Jika ayat 5 adalah tindakan fisik (memberi), maka ayat 6 adalah kondisi batiniah (mensucikan jiwa). Tanpa niat pensucian diri, harta yang dikeluarkan bisa jadi sia-sia di sisi Allah, meskipun secara lahiriah terlihat mulia.
Mengapa mensucikan jiwa menjadi begitu penting? Karena sifat alami manusia cenderung mencintai harta. Allah SWT berfirman dalam surat At-Takatsur bahwa manusia terbuai dengan menumpuk harta. Surat Al-Lail menegaskan obat mujarab untuk penyakit penumpukan ini, yaitu dengan mengeluarkan harta yang paling dicintai.
Ketika kita memberikan apa yang kita cintai karena Allah, kita sedang melatih diri kita untuk melepaskan ikatan materi. Proses pelepasan inilah yang membersihkan jiwa dari sifat tamak dan egoisme. Hati yang tadinya sempit karena terlalu fokus pada akumulasi harta, kini menjadi lapang karena terbiasa berbagi dan menaruh harap pada ganjaran akhirat, bukan lagi pada simpanan duniawi yang fana.
Menurut para mufassir, ayat ini menekankan bahwa kualitas sedekah diukur bukan dari jumlah nominalnya, melainkan dari kadar kecintaan kita pada apa yang kita berikan. Sedikit yang diberikan dengan hati yang sangat mencintai harta itu, namun tetap rela melepaskannya demi keridhaan Allah, jauh lebih bernilai daripada memberikan harta yang berlimpah namun hati tidak merasa kehilangan sedikit pun.
Ayat Al-Lail 6 memberikan pelajaran praktis yang relevan hingga kini. Untuk mengaplikasikannya, seorang Muslim harus introspeksi diri mengenai cara pandangnya terhadap kekayaan:
Pada akhirnya, Surat Al-Lail ayat 6 adalah undangan ilahi untuk menggunakan nikmat harta sebagai sarana mencapai derajat spiritual tertinggi. Harta yang dikeluarkan dengan niat mensucikan jiwa akan menjadi investasi abadi, sedangkan harta yang ditahan demi kepuasan duniawi akan menjadi beban berat di hari perhitungan. Dengan memahami ayat ini, kita diingatkan bahwa kekayaan sejati terletak pada kemurnian hati yang terbebas dari belenggu materi.