Surat Al-Lail, yang berarti "Malam," adalah salah satu surat pendek dalam Al-Qur'an yang sarat dengan perenungan mendalam mengenai perbedaan jalan hidup manusia serta konsekuensi abadi dari pilihan mereka di dunia. Ayat-ayat 5 hingga 7 secara spesifik menyoroti janji agung bagi mereka yang memiliki sifat kedermawanan dan ketakwaan.
Ayat-ayat ini berfungsi sebagai pengingat bahwa nilai sejati seseorang tidak diukur dari apa yang ia kumpulkan, melainkan dari apa yang ia bagikan demi mengharapkan ridha Allah SWT.
Maka adapun orang yang memberikan hartanya (di jalan Allah) dan bertakwa, (5) Serta membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), (6) Maka Kami kelak akan memudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kesenangan). (7)
Tiga ayat ini membentuk sebuah formula kebahagiaan hakiki. Allah SWT menjelaskan melalui tiga tindakan utama yang harus diwujudkan oleh seorang hamba:
Kata "a'ṭā" (memberi) dalam konteks ini tidak sekadar berarti memberi rezeki kepada fakir miskin saja, tetapi juga menginfakkan harta untuk segala hal yang diridai Allah, termasuk dakwah, membantu sesama muslim, atau membebaskan budak (pada masa turunnya ayat). Kunci utamanya adalah keikhlasan dan niat bahwa harta tersebut adalah titipan, bukan kepemilikan mutlak.
Setelah memberi, diikuti dengan perintah untuk bertakwa. Ketakwaan di sini adalah menjaga diri dari segala larangan Allah dan melaksanakan perintah-Nya. Memberi tanpa diiringi ketakwaan bisa menjadi riya' atau bahkan perbuatan yang terdorong hawa nafsu semata. Ketakwaan memastikan bahwa kedermawanan tersebut konsisten dan terikat pada syariat.
"Al-Husna" secara umum diartikan sebagai balasan terbaik, yaitu surga, atau pembenaran terhadap kebenaran risalah Islam secara keseluruhan. Ayat ini menekankan pentingnya pembenaran hati (iman) yang diwujudkan dalam bentuk pengakuan dan pembuktian amal saleh. Seseorang yang memberi dan bertakwa, namun hatinya meragukan janji Allah, maka amalnya belum sempurna.
Konsekuensi dari tiga tindakan mulia di atas disebutkan dalam ayat ketujuh: "Maka Kami kelak akan memudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kesenangan)."
Janji ini sangat luas maknanya. "Al-Yusra" (kemudahan) ini dapat terwujud di dunia maupun di akhirat:
Ayat 5-7 ini mengajarkan bahwa ada korelasi langsung antara amal saleh dan kemudahan hidup. Ini bukan sekadar janji kosong, melainkan hukum sebab akibat yang ditetapkan oleh Rabbul 'Alamin. Sebaliknya, orang yang kikir dan kufur, Allah akan mudahkan jalannya menuju kesusahan (Al-'Usra), sebagaimana dijelaskan pada ayat-ayat sebelumnya dalam Surat Al-Lail.
Memahami ayat ini memberikan fondasi psikologis yang kuat. Ketika seseorang fokus pada memberi (memberdayakan orang lain) dan takwa (memperkuat hubungan dengan Tuhan), rasa takut akan kekurangan dan kegelisahan hidup akan berkurang. Hati yang ringan karena terlepas dari sifat bakhil (kikir) akan lebih mudah menerima petunjuk dan ketenangan.
Secara sosial, ayat ini mendorong solidaritas. Masyarakat yang anggotanya terdorong untuk saling memberi dan peduli akan menjadi masyarakat yang kuat dan minim konflik, karena ikatan kasih sayang dan tolong-menolong telah tertanam sebagai ibadah yang dijanjikan balasan terbaik oleh Allah.
Intinya, Surat Al-Lail ayat 5 sampai 7 adalah cetak biru menuju kebahagiaan abadi: Kemuliaan sejati terletak pada kedermawanan yang diikat oleh ketakwaan dan diiringi pembenaran iman yang kokoh.