Surat Al-Lail (Malam Hari) adalah salah satu surat pendek dalam Juz Amma yang sarat dengan pelajaran moral dan spiritual. Di dalamnya, Allah SWT menekankan pentingnya amal perbuatan nyata, terutama kedermawanan (infaq) dan bagaimana sikap kita terhadap harta benda duniawi akan menentukan hasil akhir kita di akhirat. Fokus utama pembahasan ini adalah ayat kesebelas dari surat tersebut.
Dan hartanya sekali-kali tidak memberikan manfaat kepadanya apabila ia telah binasa (masuk neraka).
Konteks Penurunan Ayat
Ayat 11 dari Surat Al-Lail ini seringkali dibaca dalam konteks ayat-ayat sebelumnya (ayat 8 hingga 10) yang mengisahkan tentang dua tipe manusia berdasarkan respons mereka terhadap panggilan Allah: orang yang dermawan dan bertakwa, serta orang yang kikir dan merasa cukup dengan dirinya sendiri.
Ayat 8 dan 9 menjelaskan kondisi orang yang kikir: "Adapun orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup (tidak memerlukan pertolongan Allah), serta mendustakan (pahala yang terbaik), maka kelak akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesusahan (neraka)."
Ayat 11 ini menjadi penutup tegas dari deskripsi tipe manusia kedua. Ia berfungsi sebagai peringatan keras bahwa segala bentuk kekayaan, kemewahan, dan harta benda yang dikumpulkan di dunia ini akan sirna kegunaannya ketika seseorang menghadapi kematian dan penghakiman akhir. Konteks "teraddā" (تَرَدَّىٰ) secara harfiah berarti jatuh terjerumus, merujuk pada keadaan buruk di ambang kehancuran atau telah masuk ke dalam api neraka.
Makna Inti: Kesia-siaan Harta Tanpa Iman
Pesan utama dari surat al lail ayat 11 adalah penegasan bahwa nilai sejati harta adalah pada kegunaannya di jalan Allah, bukan pada jumlahnya. Seseorang mungkin sepanjang hidupnya menimbun kekayaan, membangun imperium, dan merasa aman karena hartanya. Namun, ketika ajal tiba dan ia ternyata termasuk golongan yang menolak untuk bersyukur dan berinfak (seperti yang dijelaskan di ayat sebelumnya), maka semua aset tersebut menjadi tidak berarti sama sekali.
Dalam perspektif akhirat, harta tidak bisa membeli tiket masuk surga. Ia tidak dapat menawar siksa Allah, juga tidak bisa menjadi penolong saat ruh dicabut dan hisab dimulai. Ayat ini menyoroti ketidakmampuan absolut harta benda untuk memberikan manfaat dalam menghadapi azab Allah. Kata "تُغْنِي" (tughni) berarti memberikan kecukupan atau membebaskan dari kebutuhan/bahaya. Di saat yang genting tersebut, harta sama sekali tidak memberikan "kecukupan" dari murka Ilahi.
Relevansi Kontemporer
Di zaman modern, di mana materi dan konsumerisme sering menjadi tolok ukur kesuksesan, peringatan dalam Al-Lail ayat 11 menjadi sangat relevan. Banyak orang mengukur kualitas hidup berdasarkan akumulasi materi. Ayat ini mengingatkan kita untuk melakukan introspeksi: Apakah kita bekerja keras hanya untuk menumpuk, ataukah kita menggunakan sebagian dari rezeki tersebut untuk amal jariyah?
Kekikiran yang ditekankan dalam surat ini bukanlah sekadar tidak mau berbagi, melainkan sebuah penyakit hati yang membuat seseorang merasa dirinya mandiri (ghaniyyun) tanpa memerlukan Tuhan. Ketika keyakinan ini tertanam kuat, maka dorongan untuk bersedekah atau berbuat baik kepada sesama akan hilang, dan pada akhirnya, semua yang dimiliki akan sia-sia ketika "ia telah terjerumus."
Sebaliknya, bagi mereka yang dermawan dan senantiasa mengingat Allah (seperti tipe pertama yang disebutkan di ayat 5-7), hartanya menjadi berkah yang membersihkan jiwa dan menjadi bekal abadi, karena ia telah 'membeli' keridhaan Ilahi saat ia masih mampu melakukannya.
Penutup
Surat Al-Lail, khususnya ayat 11, adalah pengingat abadi bahwa investasi terbaik bukanlah di pasar saham atau properti duniawi, melainkan investasi spiritual. Pikirkanlah bagaimana harta yang kita miliki hari ini dapat mencegah kita dari kehancuran di hari pembalasan. Dengan memahami makna mendalam surat ini, seorang Muslim didorong untuk mengubah pola pikir dari akumulator harta menjadi penyalur rahmat Allah di muka bumi.