Surat Al-Lail (Malam) adalah salah satu surat Makkiyah yang sarat akan sumpah-sumpah agung Allah SWT sebagai landasan penegasan atas kebenaran dan konsekuensi amal perbuatan manusia. Ayat 1 hingga 7 secara spesifik memfokuskan pada fenomena alam yang paling mendasar: pergantian siang dan malam. Sumpah-sumpah ini bukan sekadar retorika, melainkan janji yang mengikat realitas kehidupan spiritual dan moral kita.
Pembukaan surat ini dimulai dengan tujuh sumpah berurutan. Tiga sumpah pertama secara langsung berkaitan dengan waktu:
Para mufassir sepakat bahwa ketika Allah bersumpah dengan sesuatu, itu menunjukkan kebesaran dan kepentingan dari objek yang disumpah tersebut. Malam (Al-Lail) yang menyelimuti bumi melambangkan ketenangan, kegelapan, dan masa istirahat. Sumpah ini menegaskan kekuasaan Allah dalam mengatur siklus alam semesta yang sangat teratur.
Selanjutnya, Allah bersumpah dengan Siang (An-Nahar) saat ia menampakkan cahayanya. Siang melambangkan aktivitas, usaha, dan penerangan. Kontras antara malam dan siang menunjukkan dualitas eksistensi yang saling melengkapi dalam ciptaan Allah. Kehidupan manusia sepenuhnya bergantung pada harmoni antara kedua waktu ini.
Ayat ketiga memperkenalkan sumpah yang lebih mendalam mengenai eksistensi manusia sendiri: penciptaan laki-laki dan perempuan. Ini adalah sumpah atas keberadaan jenis manusia, sebuah fenomena yang kompleks dan penuh misteri. Penciptaan dua jenis ini menunjukkan tujuan universalisasi ibadah dan kelangsungan kehidupan di muka bumi.
Setelah menguatkan sumpah-sumpah alamiah, Allah melanjutkan sumpah-Nya dengan inti permasalahan tujuan penciptaan manusia:
Inilah titik baliknya. Setelah sumpah mengenai malam, siang, dan jenis kelamin, ayat 4 menyatakan kebenaran fundamental tentang amal kita: sa’y (usaha atau kerja keras) manusia itu beragam (syatta). Ada yang berusaha untuk kebaikan, ada yang berusaha untuk kemaksiatan. Tidak ada keseragaman dalam orientasi akhir tujuan manusia.
Ayat 5 hingga 7 kemudian merinci perbedaan usaha tersebut dengan tiga pasangan kontras:
Ayat 5 memperkenalkan tipe pertama manusia yang sukses: seseorang yang menginfakkan hartanya (memberi)—ini adalah manifestasi kedermawanan materi—dan sekaligus bertakwa—ini adalah ketaatan spiritual. Dua sifat ini harus berjalan beriringan; iman tanpa amal nyata (sedekah) dan amal tanpa landasan takwa menjadi kurang sempurna.
Ayat 6 menjelaskan tentang pembenaran terhadap konsep Al-Husna. Al-Husna sering diartikan sebagai kalimat tauhid (Laa Ilaaha Illallah), janji pahala terbaik dari Allah, atau kebenaran secara umum. Orang yang membenarkan ini berarti hatinya telah tunduk pada kebenaran hakiki, bukan sekadar mengikuti arus dunia.
Puncak dari usaha yang baik ini dijelaskan di ayat 7: "Maka Kami kelak akan memudahkan baginya jalan kemudahan (Al-Yusra)." Jalan kemudahan ini adalah balasan langsung di dunia dan akhirat. Allah tidak hanya menjanjikan hasil, tetapi juga memudahkan prosesnya. Kemudahan di dunia berarti diberikan taufik untuk terus berbuat baik, dan di akhirat berarti kemudahan melewati siksa menuju surga.
Mengapa sumpah tentang malam, siang, dan penciptaan manusia diletakkan sebelum pembahasan usaha? Karena siklus alam (malam dan siang) adalah bukti abadi bahwa keteraturan ilahi selalu ada. Jika Allah mampu mengatur pergantian waktu dengan sempurna tanpa cacat, maka pengaturan-Nya terhadap setiap amal usaha manusia juga pasti adil dan terperinci. Usaha manusia yang berbeda-beda (Ayat 4) adalah cerminan kehendak bebas yang diberikan setelah adanya tatanan alam yang tetap. Oleh karena itu, bagi mereka yang memilih jalan ketaatan (Ayat 5-6), janji kemudahan (Ayat 7) adalah kepastian mutlak dari Sang Pencipta alam semesta.