Surat Al-Kahfi, surat ke-18 dalam Al-Qur'an, menyimpan banyak pelajaran penting mengenai ujian kehidupan, kesabaran, keimanan, dan hakikat kekuasaan sejati. Salah satu ayat yang sering menjadi sorotan karena kedalaman maknanya adalah ayat ke-44. Ayat ini secara tegas mengingatkan manusia tentang batasan kekuasaan mereka di hadapan kekuasaan mutlak Allah SWT.
هُنَالِكَ الْوَلَايَةُ لِلَّهِ الْحَقِّ ۚ هُوَ خَيْرٌ ثَوَابًا وَخَيْرٌ عُقْبًا
Di sanalah pertolongan (kekuasaan) hanya milik Allah Yang Maha Benar (Haq). Dia adalah sebaik-baik Pemberi balasan dan sebaik-baik Pemberi balasan (perhitungan akhir).
Ayat 44 ini muncul dalam narasi panjang mengenai perumpamaan dua orang laki-laki yang memiliki harta kekayaan dan kebun yang melimpah. Salah satu dari mereka, yang hatinya tertipu oleh kemegahan duniawi, membanggakan diri dan meremehkan temannya yang lebih rendah statusnya, sambil berkata bahwa kekayaannya akan abadi dan ia tidak akan pernah bangkrut atau bangkit kembali.
Setelah narasi tentang kehancuran kebun orang yang sombong tersebut karena azab Allah, ayat 44 datang sebagai penutup dan penegasan. Ini adalah titik balik dalam kisah tersebut, di mana Allah menegaskan bahwa semua bentuk kekuasaan, kemampuan mengatur, dan pertolongan di dunia maupun akhirat sepenuhnya berada di tangan-Nya. Kata kunci dalam ayat ini adalah "Al-Walayah" (الْوَلَايَةُ) yang berarti kekuasaan, perwalian, atau pertolongan.
Frasa "Lillahi al-Haqq" (لِلَّهِ الْحَقِّ) sangat mendalam. Allah disebut Al-Haqq, Zat yang keberadaan-Nya mutlak dan tidak berubah. Ini berarti pertolongan atau kekuasaan yang sejati hanya bersumber dari-Nya. Segala sesuatu yang kita lihat sebagai kekuasaan manusia—jabatan, kekayaan, kekuatan militer—adalah titipan yang fana dan bisa dicabut kapan saja. Ketika kesulitan datang atau ajal menjemput, kekuasaan duniawi tersebut tidak akan mampu memberikan pertolongan sejati. Hanya pertolongan Allah yang pasti dan tidak pernah mengecewakan.
Ayat ini mengajarkan kerendahan hati. Ketika kita menyadari bahwa segala pertolongan adalah milik Allah Yang Maha Benar, secara otomatis kita akan berhenti bergantung pada makhluk dan mulai menambatkan hati hanya kepada Pencipta. Ketergantungan kepada selain-Nya adalah bentuk kesyirikan kecil (syirkul ashghar) yang merusak keimanan.
Bagian kedua dari ayat ini melengkapi penegasan kekuasaan: "Huwa khairun tawabā" (هُوَ خَيْرٌ ثَوَابًا) dan "wa khairun 'uqbā" (وَخَيْرٌ عُقْبًا).
Khairun Tawabā merujuk pada balasan terbaik. Ini menunjukkan bahwa meskipun kita mungkin mengalami kerugian duniawi karena memilih jalan ketaatan (seperti yang dialami oleh orang yang beriman dalam kisah Ashabul Kahfi), balasan di sisi Allah jauh melampaui apa yang bisa diberikan oleh dunia. Balasan di sini bisa berupa ketenangan hati, keberkahan dalam hidup, atau pahala langsung.
Sementara itu, Khairun 'Uqbā berarti sebaik-baik kesudahan atau hasil akhir. Ini secara eksplisit merujuk kepada kehidupan akhirat. Allah menjanjikan bahwa akhir dari orang-orang yang teguh berpegang pada kebenaran dan bergantung penuh pada pertolongan-Nya adalah surga, sebuah kesudahan yang tidak tertandingi oleh kemewahan dunia mana pun. Dunia yang fana akan berakhir dengan kehancuran (seperti kebun yang binasa), namun kesudahan bagi hamba yang taat kepada Al-Haqq adalah keabadian yang mulia.
Untuk seorang Muslim yang merenungkan Surat Al Kahfi ayat 44, ada beberapa implikasi praktis yang harus dipegang teguh:
Kesimpulannya, Surat Al Kahfi ayat 44 adalah pengingat fundamental bahwa kekuasaan, hak, dan pertolongan sejati hanya dimiliki oleh Allah, Sang Maha Benar. Memahami ayat ini membawa ketenangan karena kita tahu siapa yang harus kita sandari, dan memberikan motivasi karena balasan dari-Nya adalah yang paling agung dan kekal.