Surat Al-Kahfi, yang berarti "Gua", adalah surat ke-18 dalam Al-Qur'an dan merupakan salah satu surat yang sangat dianjurkan untuk dibaca setiap hari Jumat. Surat ini kaya akan pelajaran moral dan spiritual, terutama dalam menghadapi ujian kehidupan. Salah satu ayat kunci yang seringkali menjadi perenungan mendalam adalah ayat ke-39.
Ayat ini secara khusus menyoroti dua bentuk godaan duniawi yang paling umum dihadapi manusia: harta yang melimpah dan keturunan yang banyak. Ayat ini disajikan dalam konteks dialog antara dua orang dari Ashabul Kahfi (pemilik gua) yang saling menasihati tentang kekekalan akhirat berbanding kesementaraan dunia.
وَلَوْلَآ إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَآءَ ٱللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّهِ ۚ إِن تَرَنِ أَنَا۠ أَقَلَّ مِنكَ مَالًا وَوَلَدًا
Walau lā idz dakhalta jannataka qulta mā shā’allāhu lā quwwata illā billāh, in tarani ana aqalla minka mālan wa waladan
"Dan sekiranya engkau (Muhammad) mengatakan ketika engkau memasuki kebunmu, 'Apa yang dikehendaki Allah (terjadi), tidak ada kekuatan kecuali dengan Allah. Sekalipun engkau melihatku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan,'
Ayat 39 ini mengandung pelajaran penting tentang cara seorang mukmin menyikapi nikmat dunia. Jika orang tersebut sempat memasuki kebunnya (yang melambangkan kesuksesan duniawi), ia diperintahkan untuk berkata, "Mā shā’allāhu lā quwwata illā billāh" (Apa yang dikehendaki Allah (terjadi), tidak ada kekuatan kecuali dengan Allah).
Kalimat pertama adalah penegasan tauhid yang mendasar. Semua kekayaan, kesuksesan, dan bahkan kemampuan kita untuk mempertahankan semuanya adalah murni atas kehendak dan izin Allah SWT. Ini menghilangkan kesombongan dan rasa kepemilikan mutlak terhadap apa yang kita miliki. Ketika seseorang menyadari bahwa semua yang ia nikmati adalah titipan, ia akan lebih bersyukur dan tidak menjadi angkuh.
Frasa "lā quwwata illā billāh" (tidak ada kekuatan kecuali dengan Allah) adalah pengakuan kerendahan hati total. Ini mengajarkan bahwa usaha manusia terbatas; keberhasilan sejati datang dari pertolongan ilahi. Dalam konteks spiritual, ini adalah benteng pertahanan diri dari tipu daya setan yang seringkali membisikkan bahwa kesuksesan murni hasil jerih payah sendiri.
Bagian akhir ayat, "Sekalipun engkau melihatku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan," menunjukkan bahwa jika seorang mukmin sejati memegang prinsip tauhid, ia tidak akan iri atau merasa rendah diri meskipun secara materi ia tampak lebih lemah dibandingkan orang lain.
Bagi orang yang beriman, keberkahan (barakah) dan keridhaan Allah jauh lebih berharga daripada kuantitas harta atau banyaknya anak. Ayat ini secara halus mengingatkan bahwa harta dan keturunan yang banyak bisa menjadi ujian berat jika tidak disertai kesadaran spiritual. Sebaliknya, sedikit harta yang membawa ketenangan hati dan keturunan yang saleh adalah kenikmatan yang lebih besar daripada kekayaan yang melenakan.
Di era modern, ayat ini sangat relevan. Godaan untuk fokus pada akumulasi kekayaan dan popularitas (metafora keturunan/pengikut) sangat kuat. Ayat Al-Kahfi 39 berfungsi sebagai pengingat keras bahwa semua pencapaian duniawi, seberapa pun besarnya, hanyalah sementara dan harus selalu dikaitkan kembali kepada Sang Pemberi.
Ketika kita berhasil dalam karier, membeli aset baru, atau melihat keluarga kita berkembang, pengucapan kalimat ini (bahkan dalam hati) menjadi penawar agar kita tidak terjerumus dalam kesombongan atau melupakan tanggung jawab kita sebagai hamba Allah. Keutamaan sejati terletak pada keteguhan hati dalam keimanan, bukan pada jumlah materi yang dikumpulkan.