Merenungkan Surat Al-Kahfi Ayat 36-40

Ilustrasi Kekayaan dan Kerendahan Hati Sebuah pohon hijau subur dengan buah yang melimpah, di sampingnya terdapat mata air yang mengalir jernih, melambangkan kekayaan duniawi dan nikmat Allah. Nikmat yang mengalir Fana Kekal

Konteks Ayat

Surat Al-Kahfi (Surat Gua) adalah surat ke-18 dalam Al-Qur'an yang kaya akan pelajaran hidup, salah satunya adalah kisah tentang dua orang pemilik kebun. Ayat 36 hingga 40 secara spesifik mengisahkan dialog antara seorang mukmin dan saudaranya yang kufur (tidak beriman) mengenai hakikat harta duniawi dan kekekalan akhirat.

Pesan utama dari rangkaian ayat ini adalah teguran keras terhadap sifat kesombongan dan kekufuran yang lahir dari kebanggaan berlebihan atas harta benda yang bersifat sementara.

Teks Ayat 36-40 Beserta Terjemahannya

وَاُفْرُدْ لَهُ مِنْ اَنْوَاعِ الْمَالِ مَا شِئْتَۖ وَلَهُ مَا لَيْسَ لَهُ وَكَانَ اَكْثَرَ مِنْهُ وَلَدًا ۙ
36. Dan dia memiliki (kebun-kebun) buah-buahan dan dia berkata kepada temannya sedang dia bercakap-cakap dengannya: "Hartaku ini jauh lebih banyak daripadamu, dan (aku) lebih kuat golonganku."
وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهٖ قَالَ مَآ اَظُنُّ اَنْ تَبِيْدَ هٰذِهٖٓ اَبَدًا ۙ
37. Dan dia memasuki kebunnya, sedangkan dia (dalam keadaan) menzalimi dirinya sendiri, seraya berkata: "Aku tidak menyangka kebun ini akan binasa selamanya,
وَمَآ اَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَّلَىِٕنْ رُدِدْتُ اِلٰى رَبِّي لَاَجِدَنَّ خَيْرًا مِّنْهَا مُنْقَلَبًا
38. dan aku tidak menyangka kiamat itu akan datang. Dan sekirapun aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun ini."
قَالَ لَهُۥ صَاحِبُهُۥ وَهُوَ يُحَاوِرُهُۥٓ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّىٰكَ رَجُلًا
39. Sahabatnya berkata kepadanya seraya bercakap-cakap dengannya: "Mengapakah kamu kufur kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu Dia membentuk kamu menjadi seorang laki-laki?
وَلٰكِنَّنَا۠ هُوَ اللّٰهُ رَبِّيْ وَلَآ اُشْرِكُ بِرَبِّيْٓ اَحَدًا
40. Adapun aku, (percaya bahwa) Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku."

Penjelasan Mendalam Tentang Pesan Kekayaan Duniawi

Kesombongan Karena Harta (Ayat 36)

Ayat 36 menyoroti bahaya ketika seseorang mengukur nilainya dan kekuatan posisinya berdasarkan aset materi yang ia miliki. Pemilik kebun tersebut sesumbar kepada saudaranya dengan dua klaim utama: "Hartaku ini jauh lebih banyak daripadamu" dan "aku lebih kuat golonganku." Ini adalah tipikal pemikiran materialistis. Ia memandang iman dan ketakwaan sebagai faktor sekunder, sementara kekayaan materi dan jumlah pendukung (golongan/keluarga besar) adalah ukuran kesuksesan sejati. Sikap ini menunjukkan ketidakmampuannya melihat sumber segala rezeki.

Khayalan Kekekalan Dunia (Ayat 37-38)

Puncak dari kesombongannya terlihat pada ayat 37 dan 38, di mana ia melontarkan dua keyakinan yang sangat keliru: pertama, keyakinan bahwa kebunnya tidak akan pernah binasa, dan kedua, keraguannya bahkan penolakan terhadap Hari Kiamat. Keengganannya percaya pada kebangkitan menunjukkan bahwa seluruh fokus eksistensinya tertanam kuat pada kenikmatan duniawi yang tampak di hadapannya. Ia menganggap kenikmatan ini permanen, dan jika pun ia harus kembali kepada Tuhannya, ia yakin akan mendapatkan balasan yang lebih baik—sebuah keyakinan yang didasarkan pada optimisme palsu akan kekayaan, bukan amal saleh.

Perlu dicatat bahwa Al-Qur'an menyebutnya "zalim kepada dirinya sendiri" (ظَالِمٌ لِّنَفْسِهٖ). Mengapa? Karena dengan kekayaannya, ia seharusnya bersyukur dan menggunakan harta tersebut untuk amal, namun ia malah menjadikannya benteng kesombongan dan penghalang untuk menerima kebenaran.

Peringatan Sang Mukmin (Ayat 39-40)

Dialog ini mencapai klimaksnya ketika sahabatnya yang beriman merespons dengan nasihat yang sangat mendalam. Jawaban sang mukmin (ayat 39 dan 40) adalah kontras total dari pandangan saudaranya.

Teguran Penciptaan (Ayat 39): Ia mengingatkan saudaranya pada asal usulnya yang sederhana: dari tanah, kemudian mani. Hal ini bertujuan meruntuhkan arogansi status sosial dan kekayaan. Jika Sang Pencipta mampu menghasilkan manusia dari materi paling hina, maka menghancurkannya kembali atau memberikannya kepada siapa pun adalah hal yang sangat mudah bagi-Nya. Fokusnya adalah pada kebesaran Allah yang menciptakan, bukan pada hasil ciptaan-Nya (harta).

Penegasan Tauhid (Ayat 40): Klimaks dari nasihat tersebut adalah penegasan aqidah: "Adapun aku, (percaya bahwa) Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku." Bagi orang beriman, kebahagiaan sejati dan kepastian masa depan tidak terletak pada jumlah pohon buah atau luasnya lahan, melainkan pada kemurnian tauhid (mengesakan Allah) dan ketaatan kepada-Nya. Inilah investasi yang kekal, berbeda dengan kebun yang suatu saat pasti akan hancur lebur.

Relevansi Kontemporer

Pelajaran dari Surat Al-Kahfi ayat 36-40 sangat relevan di era modern. Banyak orang terbuai oleh kesuksesan karier, aset properti, atau pengikut media sosial, lantas melupakan bahwa semua itu adalah titipan sementara. Rasa "kuat golonganku" bisa diterjemahkan menjadi superioritas berdasarkan jabatan atau jaringan. Ayat-ayat ini adalah pengingat bahwa kekayaan sejati adalah kekayaan spiritual dan kepatuhan kepada Sang Pemberi rezeki, bukan seberapa besar rezeki itu tampak di mata manusia.

🏠 Homepage