Representasi Cahaya Ilmu dan Kebenaran
Surat Al-Kahfi merupakan salah satu surat penting dalam Al-Qur'an yang penuh dengan pelajaran hidup, terutama tentang ujian keimanan. Salah satu ayat yang sering menjadi perenungan mendalam adalah ayat ke-50. Ayat ini secara spesifik membahas tentang hakikat duniawi, yaitu harta dan anak-anak, serta bagaimana keduanya bisa menjadi ujian berat bagi seorang mukmin.
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka mereka sujud kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan anak cucunya sebagai penolong-penolongmu selain Aku, padahal mereka adalah musuhmu? Seburuk-buruknya pertukaran bagi orang-orang yang zalim.
Catatan Penting: Terdapat kekeliruan dalam penulisan ayat di atas. Ayat 50 Surah Al-Kahfi yang sebenarnya berbicara tentang harta dan anak-anak adalah sebagai berikut:
Dan Kami perlihatkan neraka Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir dengan jelas.
Namun, untuk konteks umum mengenai ujian duniawi yang sering dibahas dalam tafsir Al-Kahfi, seringkali ayat yang merujuk pada harta dan keturunan adalah bagian dari kisah Ashabul Kahfi atau konteks perbandingan antara dunia dan akhirat. Jika yang dimaksud adalah perbandingan antara dunia dan akhirat secara umum, ayat-ayat di sekitar ayat 45-48 lebih relevan dalam konteks harta dan kesombongan duniawi.
Surah Al-Kahfi menyoroti tipu daya dunia. Dunia dengan segala kenikmatannya—harta melimpah, anak keturunan yang banyak, serta kekuasaan—seringkali membuat manusia lalai dari tujuan utama penciptaan mereka. Ayat-ayat dalam surat ini mengingatkan bahwa semua kemewahan itu hanyalah sementara dan akan segera sirna.
Banyak orang terjerumus dalam kesibukan mengejar dunia hingga melupakan persiapan untuk kehidupan abadi di akhirat. Harta benda yang tadinya merupakan nikmat bisa berubah menjadi fitnah jika digunakan untuk kesombongan atau melupakan hak Allah. Begitu pula dengan keturunan, yang seharusnya menjadi penyejuk mata dan penerus kebaikan, dapat menjadi sumber fitnah jika tidak dibimbing di jalan yang benar.
Jika kita berfokus pada teks ayat 50 yang sebenarnya, yakni mengenai diperlihatkannya neraka Jahannam kepada orang-orang kafir, ini adalah peringatan paling keras. Ayat ini berfungsi sebagai penegasan akhir bagi mereka yang menolak kebenaran. Setelah semua peringatan dan kenikmatan dunia yang mereka nikmati, realitas akhirat yang menanti adalah azab yang dahsyat.
Peristiwa diperlihatkannya neraka secara ‘Ardh’ (diperlihatkan secara nyata) sebelum hari kiamat tiba memberikan gambaran visual yang menakutkan. Ini bukan sekadar ancaman, melainkan sebuah kepastian bagi mereka yang memilih jalan kekafiran dan kesesatan, terlepas dari seberapa banyak harta atau keturunan yang mereka miliki di dunia.
Inti dari pelajaran Al-Kahfi, termasuk ayat-ayat yang mengelilingi ayat 50, adalah ajakan untuk membandingkan nilai. Dunia ini, seindah apapun, hanyalah selembar daun yang akan gugur. Sementara akhirat adalah destinasi abadi. Menginvestasikan seluruh energi hanya untuk mengumpulkan hal-hal fana adalah kerugian besar.
Orang beriman sejati adalah mereka yang memanfaatkan kekayaan dan keturunan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, bukan sebagai tujuan akhir. Mereka menyadari bahwa segala yang ada di bumi akan menjadi debu, kecuali amal saleh yang dilakukan dengan keikhlasan. Surat Al-Kahfi mengajak kita untuk selalu waspada terhadap tipu daya dunia yang membuat hati menjadi keras dan mata batin tertutup.
Surat Al-Kahfi ayat 50, dalam konteks penampakan neraka, menegaskan konsekuensi nyata dari penolakan iman. Meskipun ayat-ayat sebelumnya banyak menyinggung tentang harta dan anak sebagai fitnah dunia, ayat ini menutup dengan gambaran akhir yang mengerikan bagi para pendurhaka. Membaca dan merenungkan ayat-ayat ini secara rutin dapat menumbuhkan kesadaran akan kefanaan dunia dan mendorong kita untuk lebih giat mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah kematian.