Surat Al-Kafirun, yang secara harfiah berarti "Orang-orang yang Ingkar," adalah salah satu surat pendek namun memiliki makna teologis yang sangat mendalam dalam Islam. Ketika kita membicarakan mengenai posisi atau penempatan surat ini dalam mushaf, kita merujuk pada surat Al-Kafirun urutan ke 109 dari keseluruhan 114 surat yang menyusun Al-Qur'anul Karim. Posisi ini menempatkannya di antara surat-surat pendek yang umumnya terletak di akhir susunan Al-Qur'an.
Meskipun urutan ini adalah susunan resmi berdasarkan ketetapan (tawqifi) yang disepakati oleh para sahabat Rasulullah SAW, penting untuk dipahami bahwa kedudukan historis penurunan surat ini mungkin berbeda. Namun, dalam konteks mushaf yang kita baca saat ini, posisinya yang ke-109 adalah fakta yang tidak terbantahkan.
Surat Al-Kafirun turun di Mekkah, sering disebut sebagai surat yang menegaskan prinsip tauhid (keesaan Allah) secara tegas dan lugas. Ayat-ayatnya secara gamblang menyatakan pemisahan total antara ajaran Islam dengan praktik kemusyrikan. Ayat pembukaannya, "Katakanlah: 'Hai orang-orang kafir!'" langsung menetapkan subjek yang dituju.
Mengapa surat ini diletakkan sebelum surat-surat penutup lainnya seperti Al-Nasr, Al-Masad, dan Al-Ikhlas? Beberapa ulama berpendapat bahwa penempatan ini bertujuan memberikan penekanan final pada kemurnian akidah. Setelah ayat-ayat yang menjelaskan sifat-sifat Allah (seperti dalam Al-Ikhlas), Surat Al-Kafirun datang sebagai penutup konseptual yang menyatakan: inilah batas, inilah pilihan akidah yang harus dipegang teguh oleh seorang Muslim.
Kalimat terakhir ini, yang merupakan penutup surat, menjadi penegasan independensi spiritual. Ketika seorang Muslim membaca Surat Al-Kafirun, ia sedang memperbarui sumpahnya untuk tidak mencampuradukkan ibadah dan keyakinannya dengan bentuk-bentuk kekufuran apapun. Urutan ke-109 ini, meskipun terkesan berada di akhir, justru memberikan fondasi penutup yang kuat bagi seluruh ajaran yang disampaikan dalam surat-surat sebelumnya.
Selain memiliki posisi yang tetap di urutan ke-109, Surat Al-Kafirun juga dikenal memiliki keutamaan luar biasa. Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa membaca surat ini setara dengan membaca seperempat Al-Qur'an. Hadis ini menunjukkan bahwa esensi ajaran tauhid yang terkandung di dalamnya memiliki bobot yang signifikan dibandingkan dengan seluruh isi Al-Qur'an.
Keutamaan ini sering dikaitkan dengan tema pemurnian akidah. Seperempat Al-Qur'an (yang terdiri dari 30 juz) mencakup berbagai aspek hukum, kisah, dan pujian kepada Allah. Surat Al-Kafirun fokus pada satu aspek fundamental: pemisahan loyalitas total hanya kepada Allah SWT. Ini menjadikan surat ini sangat dianjurkan untuk dibaca dalam shalat sunnah rawatib, terutama setelah shalat Maghrib dan Subuh.
Prinsip yang dibawa oleh surat di urutan ke-109 ini relevan dalam kehidupan kontemporer. Ini bukan berarti seorang Muslim harus mengisolasi diri secara fisik, melainkan menjaga integritas keyakinan dalam interaksi sosial. Ketika berhadapan dengan isu-isu yang menuntut kompromi dalam pokok-pokok aqidah, prinsip "Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku" menjadi pegangan utama.
Urutan surat dalam Al-Qur'an seringkali mengandung hikmah penyusunan tema. Dimulai dari surat-surat pembuka yang agung (Al-Fatihah), kemudian kisah-kisah kenabian, hukum-hukum, hingga mencapai bagian akhir yang berisi penegasan ulang prinsip-prinsip dasar, seperti yang dilakukan oleh Surat Al-Kafirun. Surat ini berfungsi sebagai penutup bab yang menjelaskan batas-batas iman dan kekafiran secara rinci, memastikan pembaca menutup lembaran Al-Qur'an dengan pemahaman yang utuh tentang komitmen monoteistik mereka.
Kesimpulannya, posisi surat Al-Kafirun urutan ke 109 bukanlah sebuah kebetulan. Ia adalah penegas akhir bagi seorang mukmin tentang fondasi utama agamanya: ketiadaan toleransi terhadap percampuran antara Tauhid dan Syirik. Memahami posisi dan isi surat ini membantu kita menghargai kesempurnaan susunan Al-Qur'an secara keseluruhan.