Surat Al-Kahf, yang berarti "Al-Gua," adalah salah satu surat terpanjang dalam Al-Qur'an dan sarat akan pelajaran penting mengenai iman, cobaan hidup, dan hakikat hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Di penghujung surat yang agung ini, terdapat sebuah ayat penutup yang ringkas namun memiliki bobot spiritual yang luar biasa: **Surat Al-Kahf Ayat 110**.
Ayat ini seringkali menjadi penutup khutbah, renungan, atau perenungan akhir pekan bagi banyak Muslim karena kemampuannya menyimpulkan inti dari pengabdian sejati. Ayat ini adalah penegasan bahwa semua capaian, usaha, dan amal perbuatan seorang hamba harus selalu dikembalikan kepada keridhaan Allah SWT.
Ayat 110 ini dapat dipilah menjadi dua bagian utama yang saling menguatkan, keduanya sangat relevan bagi kehidupan umat Islam yang hidup di tengah modernitas dan godaan kesyirikan halus maupun terang-terangan.
Ayat dimulai dengan perintah kepada Nabi Muhammad SAW untuk menegaskan: "Katakanlah: 'Sesungguhnya Aku ini hanyalah seorang manusia biasa seperti kamu...'" Pengakuan ini mengandung hikmah yang mendalam. Pertama, ia menolak segala bentuk pengultusan atau penyimpangan sifat kenabian yang meletakkan Nabi di atas tingkatan manusia normal. Nabi adalah manusia, memiliki kebutuhan fisik, merasakan kelelahan, dan mengalami keterbatasan sebagaimana manusia lain.
Namun, keterbatasan ini segera diikuti oleh penegasan superioritas wahyu: "...yang diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhanmu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa (Tauhid)." Ini menegaskan bahwa meskipun Nabi adalah manusia, pembawa pesannya adalah ilahi. Penekanan pada Tauhid, keesaan Allah, adalah inti ajaran yang dibawa. Ini adalah koreksi mendasar terhadap segala bentuk penyimpangan akidah yang mungkin timbul di antara pengikutnya, mengingatkan bahwa sumber kebenaran hanya berasal dari satu sumber ilahi.
Bagian kedua ayat ini memberikan arahan praktis mengenai bagaimana seharusnya seorang Muslim hidup: "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan jangan ia mempersekutukan seorang pun dalam ibadah kepada Tuhannya."
"Perjumpaan dengan Tuhan" adalah puncak harapan seorang mukmin, yaitu saat hari kiamat dan penghakiman, di mana setiap amal akan dipertanggungjawabkan. Untuk meraih keridhaan dalam perjumpaan itu, Al-Kahf 110 menetapkan dua syarat mutlak:
Dalam konteks mobile web dan era media sosial saat ini, pengingat untuk tidak berbuat syirik dalam ibadah menjadi semakin relevan. Banyak amal yang dilakukan—berinfak, belajar agama, bahkan membantu sesama—dapat dengan mudah tercemar oleh keinginan untuk mendapatkan validasi digital, popularitas, atau pujian dari pengikut.
Surat Al-Kahf ayat 110 menuntut introspeksi mendalam: Apakah setiap langkah kebaikan yang kita lakukan benar-benar murni untuk mencari ridha Allah, ataukah ada sedikit niat tersembunyi untuk dipuji? Jika niat itu ada, maka ia telah mencemari amal saleh tersebut, sebagaimana air murni yang tercemar setetes racun.
Kesimpulannya, ayat penutup Al-Kahf ini adalah kompas moral dan spiritual. Ia membumikan Nabi sebagai teladan manusia yang diangkat dengan wahyu, dan kemudian menetapkan standar universal bagi setiap Muslim: hiduplah dengan kesadaran penuh bahwa tujuan akhir hanya satu, yaitu menghadap Allah dalam keadaan ikhlas, terbukti melalui amal saleh yang bersih dari segala bentuk kesyirikan.