Ilustrasi Konsep Keesaan (Tauhid)
Surat Al-Ikhlas (atau Qul Huwa Allahu Ahad) adalah salah satu surat pendek yang paling agung dalam Al-Qur'an, karena merangkum esensi ajaran tauhid. Ayat ketiga dari surat ini sangat fundamental dalam menjelaskan sifat Allah SWT.
Berikut adalah bacaan lengkap untuk surat Al Ikhlas ayat 3 berbunyi:
Latin: Lam yalid wa lam yoolad
Artinya: "Ia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan."
Ayat ini—"Lam yalid wa lam yoolad"—adalah bantahan tegas terhadap semua bentuk kesyirikan yang pernah ada dan akan ada. Ayat ini menegaskan dua peniadaan fundamental mengenai hakikat Allah SWT:
Pernyataan "Lam yalid" (Ia tidak beranak) menolak anggapan bahwa Allah memiliki keturunan. Dalam konteks historis saat Al-Qur'an diturunkan, keyakinan bahwa Tuhan memiliki anak (seperti yang diyakini sebagian kaum musyrik Mekkah terhadap berhala atau keyakinan lain tentang anak Tuhan) adalah kesesatan besar. Allah Maha Suci dari kebutuhan untuk menghasilkan keturunan. Memiliki anak menyiratkan adanya kebutuhan, keterbatasan, dan suatu siklus kehidupan yang merupakan ciri makhluk, bukan ciri Sang Pencipta.
Keesaan Allah berarti Dia mandiri dan tidak memerlukan penerus atau pewaris. Keberlangsungan alam semesta bergantung pada-Nya, bukan sebaliknya.
Pernyataan "Wa lam yoolad" (dan tiada pula diperanakkan) menegaskan bahwa Allah tidak dilahirkan dari siapapun. Dia adalah Al-Awwal (Yang Pertama) yang keberadaannya tidak didahului oleh apapun. Jika Allah dilahirkan, maka pasti ada sebab yang melahirkannya, dan itu akan membawa kita pada rantai sebab-akibat yang tak berujung, yang mustahil bagi Tuhan Semesta Alam.
Ayat ini membedakan Allah dari semua makhluk ciptaan-Nya. Semua yang hidup pasti mengalami kelahiran dan kematian (atau setidaknya proses awal berupa kelahiran). Allah adalah Al-Hayyu (Yang Maha Hidup) yang keberadaan-Nya kekal tanpa awal dan tanpa akhir.
Ketika kita mengkaji surat Al Ikhlas ayat 3 berbunyi dalam konteks keseluruhan surat, kita melihat bagaimana ayat ini melengkapi fondasi tauhid yang diletakkan di ayat pertama dan kedua.
Ayat ketiga ini sangat penting karena mencegah penyimpangan pemahaman terhadap ayat kedua. Jika Allah adalah As-Samad (Tempat bergantung), orang mungkin keliru mengartikan ketergantungan itu memerlukan generasi penerus atau bahwa Dia menyerupai makhluk yang membutuhkan pewaris. Ayat 3 secara definitif membersihkan pemahaman tersebut.
Memahami bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan adalah kunci untuk mencapai keikhlasan dalam beribadah. Kita tidak menyembah dewa yang memiliki kebutuhan biologis, hasrat materiil, atau keterbatasan waktu. Kita menyembah Dzat yang mutlak dan sempurna dalam segala aspek keberadaan-Nya.
Surat Al-Ikhlas memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa surat ini sebanding nilainya dengan sepertiga Al-Qur'an. Keutamaan ini muncul karena surat ini murni menjelaskan hakikat Allah SWT—Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah. Ketika seorang Muslim membaca surat ini dengan pemahaman mendalam terhadap makna setiap ayat, termasuk ayat ketiga tentang peniadaan keturunan dan kelahiran, maka ia telah mengakui kemurnian Keesaan Allah dengan cara yang paling sempurna.
Oleh karena itu, ketika kita mengulang-ulang surat Al Ikhlas ayat 3 berbunyi, kita sedang mengikrarkan penolakan total terhadap segala bentuk pengurangan atau penambahan sifat pada keagungan Allah. Ini adalah inti dari keimanan seorang Muslim.