Surat Al-Fatihah, yang sering disebut sebagai "Ummul Kitab" (Induk Al-Qur'an) dan tujuh ayat yang dibaca dalam setiap rakaat salat, adalah fondasi spiritual bagi umat Islam. Setiap ayatnya mengandung makna yang sangat mendalam dan merupakan inti dari tauhid (keesaan Allah). Salah satu ayat yang menjadi poros utama dalam pengakuan hamba kepada Tuhannya adalah ayat kelima.
Ayat kelima ini adalah puncak dari pemurnian tauhid yang telah dibangun oleh empat ayat sebelumnya. Jika ayat pertama hingga keempat berbicara tentang pengenalan (Ar-Rahman, Ar-Rahim, Maliki Yaumiddin), maka ayat kelima ini adalah respons langsung dan deklarasi komitmen seorang hamba kepada Allah SWT. Ayat ini secara eksplisit memisahkan ibadah dan permohonan pertolongan, menegaskan bahwa sumber segala bentuk pengabdian dan bantuan hanyalah berasal dari satu sumber: Allah Azza wa Jalla.
Frasa "Iyyāka" (Hanya kepada-Mu) menggunakan penekanan penempatan kata ganti 'Kamu' (Allah) di awal kalimat, yang dalam tata bahasa Arab menunjukkan eksklusivitas dan pemurnian. Ini berarti seluruh bentuk peribadatan, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, hanya ditujukan kepada Allah semata.
Penyembahan (Ibadah) dalam Islam mencakup spektrum yang sangat luas. Ia bukan hanya terbatas pada ritual formal seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Ibadah adalah setiap tindakan, perkataan, niat, dan pemikiran yang dilakukan seorang Muslim dengan tujuan mencari keridhaan Allah. Ini mencakup bekerja dengan jujur, menolong sesama, bersikap adil, bahkan cara kita bersikap terhadap keluarga. Ketika seorang hamba mengucapkan Iyyāka Na’budu, ia sedang menyatakan bahwa seluruh eksistensinya didedikasikan untuk mentaati perintah Ilahi.
Penekanan pada kata 'Kami' (Na'budu) juga menyiratkan bahwa ibadah ini adalah tanggung jawab kolektif umat Islam. Meskipun dilakukan secara individual, ia terikat dalam kesatuan komunitas (Ummah) yang sama-sama tunduk pada otoritas ilahi.
Setelah menyatakan kesiapan untuk beribadah, ayat ini dilanjutkan dengan permintaan pertolongan (Isti'anah). Ini adalah pengakuan jujur atas keterbatasan diri manusia. Seorang manusia mungkin memiliki niat terbaik untuk beribadah dan berbuat baik, tetapi ia tidak memiliki daya dan kekuatan kecuali dari Allah.
Permintaan pertolongan ini juga bersifat eksklusif ("Wa Iyyāka"). Kita tidak meminta pertolongan dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak Allah (seperti ampunan atau pertolongan di akhirat) kepada selain Dia. Ini mencegah segala bentuk syirik khafi (syirik tersembunyi), yaitu bersandar atau berharap penuh kepada makhluk.
Permohonan pertolongan ini mencakup segala aspek kehidupan: pertolongan untuk istiqamah (konsisten) dalam ibadah, pertolongan untuk menghadapi cobaan duniawi, pertolongan untuk menahan hawa nafsu, dan yang paling utama, pertolongan agar dapat menjalani hidup sesuai tuntunan-Nya hingga ajal menjemput.
Ayat 5 ini adalah jembatan vital. Empat ayat sebelumnya adalah pujian dan pengakuan keagungan Allah sebagai Pencipta, Pemilik, dan Penguasa hari pembalasan. Ayat kelima adalah janji balasan dari hamba: "Karena Engkau adalah Tuhan yang Maha Mulia, maka balasan kami adalah menyembah-Mu dan meminta pertolongan dari-Mu."
Selanjutnya, ayat keenam (Shirāṭal-mustaqīm) adalah konsekuensi logis dari ayat kelima. Setelah berikrar menyembah dan meminta pertolongan, permintaan yang diajukan adalah petunjuk untuk melaksanakan ibadah tersebut dengan benar, yaitu dengan mengikuti jalan yang lurus (Islam). Tanpa pertolongan Allah, mustahil bagi kita untuk menempuh jalan lurus tersebut.
Menginternalisasi makna Surat Al-Fatihah ayat 5 membawa dampak signifikan pada cara seorang Muslim menjalani hidup:
Oleh karena itu, Surat Al-Fatihah ayat 5 bukanlah sekadar hafalan, melainkan sebuah sumpah setia (baiat) yang diulang-ulang setiap hari, menegaskan kembali posisi manusia sebagai hamba yang berserah diri sepenuhnya kepada Sang Pencipta yang Maha Kuasa.