Ilustrasi Simbolis Waktu Dhuha dan Lail
Dalam Al-Qur'an, terdapat banyak surat yang menawarkan ketenangan jiwa dan panduan moral yang mendalam. Dua di antaranya, Surat Ad-Dhuha (Surat ke-93) dan Surat Al-Lail (Surat ke-92), meskipun berbeda dalam konteks pewahyuan dan tema utama, keduanya menawarkan pelajaran abadi mengenai rahmat, harapan, dan tanggung jawab manusia di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Memahami dan merenungkan kedua surat ini dapat menjadi sumber kekuatan spiritual yang luar biasa, terutama saat menghadapi pasang surut kehidupan.
Surat Ad-Dhuha diturunkan pada saat Nabi Muhammad ﷺ mengalami masa jeda wahyu yang membuat beliau merasa sedikit cemas. Surat ini dimulai dengan sumpah Allah SWT terhadap waktu duha—pagi hari yang cerah setelah subuh—sebagai penegasan bahwa kesulitan hanyalah sementara. Kata "Dhuha" sendiri merujuk pada waktu ketika matahari telah naik tinggi, memancarkan sinarnya dengan jelas. Ini adalah metafora kuat bahwa kesulitan hidup—seperti malam yang gelap—pasti akan diikuti oleh kemudahan dan pencerahan.
Inti dari Ad-Dhuha adalah janji bahwa kehidupan akhir (akhirat) jauh lebih baik daripada kehidupan duniawi. Bagi seorang Muslim, memahami hal ini memberikan perspektif bahwa setiap ujian di dunia ini adalah ujian sementara yang bertujuan meninggikan derajat. Ketika kita merasa jalan buntu, mengingat sumpah Allah atas waktu dhuha mengingatkan kita bahwa fajar baru pasti akan tiba.
Berbeda dengan Ad-Dhuha yang berfokus pada penghiburan, Surat Al-Lail berfokus pada kontras antara siang dan malam sebagai bukti kekuasaan Allah, serta menyoroti pilihan moral manusia. Surat ini dimulai dengan sumpah demi malam yang menyelimuti kegelapan ("Waal-Laili itha taghasha"). Malam menjadi simbol ketenangan atau tempat di mana banyak perbuatan manusia tersembunyi dari pandangan dunia.
Al-Lail memaksa kita untuk merenungkan cara kita memanfaatkan waktu. Jika Ad-Dhuha mengingatkan kita bahwa Allah melihat kita bahkan saat kita merasa sendiri, Al-Lail mengingatkan kita bahwa setiap pilihan yang kita buat dalam kegelapan malam atau kecerahan siang akan dicatat dan dibalas. Surat ini adalah panggilan tegas untuk memilih jalan ketakwaan, bukan jalan keserakahan.
Ketika dibaca bersama, Ad-Dhuha dan Al-Lail memberikan keseimbangan yang sempurna bagi seorang pencari ketenangan. Ad-Dhuha memberikan harapan saat kita merasa putus asa—mengingatkan bahwa setelah kesusahan pasti ada kemudahan. Sementara itu, Al-Lail memberikan kerangka etika tentang bagaimana kita harus bersikap dalam kemudahan tersebut, yaitu dengan berbagi dan bertakwa.
Sangat dianjurkan bagi umat Muslim untuk membaca kedua surat ini secara rutin. Ad-Dhuha dapat dibaca pada pagi hari sebagai pembuka semangat, mengingatkan kita bahwa keberkahan pagi akan datang bagi mereka yang berusaha. Al-Lail dapat direnungkan kapan saja, namun sangat relevan saat malam hari, sebagai refleksi atas tindakan sehari-hari dan komitmen kita terhadap jalan ketaatan. Kedua surat ini, meski pendek, sarat akan makna yang mampu menyejukkan hati dan menguatkan pijakan spiritual di tengah tantangan dunia modern yang serba cepat dan seringkali penuh ketidakpastian. Mereka adalah pengingat abadi bahwa pertolongan Allah selalu dekat, baik dalam terang pagi maupun dalam pekatnya malam.
Merenungkan surat-surat ini adalah investasi terbaik bagi ketenangan jiwa yang kekal.