Surah Ad-Dhuha, yang terletak di Juz 30 Al-Qur'an, adalah salah satu surah pendek yang memiliki dampak emosional dan spiritual yang sangat besar bagi umat Islam. Nama "Ad-Dhuha" sendiri berarti "Waktu Dhuha" atau waktu ketika matahari telah naik tinggi setelah terbit, yaitu sekitar pukul 9 pagi. Penamaan ini bukan tanpa alasan; waktu dhuha sering kali diasosiasikan dengan semangat, kesegaran, dan kemuliaan setelah kegelapan malam.
Surah ke-93 ini diturunkan pada masa-masa sulit dalam kehidupan Rasulullah SAW, ketika beliau mengalami jeda wahyu (fatrah). Periode jeda ini menimbulkan kekhawatiran di hati Nabi Muhammad, membuatnya merasa ditinggalkan sementara. Turunnya Surah Ad-Dhuha menjadi penawar duka, sebuah jaminan kasih sayang dan perhatian langsung dari Allah SWT, Rabb semesta alam.
Surah ini dimulai dengan sumpah yang indah dan tegas oleh Allah SWT. Sumpah ini menegaskan bahwa janji dan perhatian-Nya tidak akan pernah meninggalkan Nabi Muhammad SAW.
Demi waktu dhuha (1) dan demi malam apabila telah sepi (2) Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak (pula) benci kepadamu (3).
Sumpah dengan waktu dhuha dan malam yang sunyi ini berfungsi untuk menguatkan janji utama pada ayat ketiga. Allah SWT secara langsung menepis kekhawatiran Nabi, menegaskan bahwa Dia tidak pernah meninggalkan, apalagi membenci, hamba-Nya yang paling mulia. Konsep "wada’aka" (meninggalkan) dan "qala" (membenci) adalah penolakan tegas terhadap perasaan terabaikan yang mungkin dirasakan Rasulullah saat jeda wahyu berlangsung.
Setelah memberikan kepastian tentang keadaan masa kini (tidak ditinggalkan), Allah SWT kemudian memberikan kabar gembira mengenai masa depan. Ayat-ayat selanjutnya menunjukkan pola pemberian yang berjenjang, yaitu dari yang paling rendah menuju yang paling tinggi.
Dan sungguh, kehidupan akhirat itu lebih baik bagimu daripada (kehidupan) dunia (4). Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas (5).
Pernyataan bahwa akhirat lebih baik dari dunia adalah sebuah konsep fundamental dalam Islam. Namun, ayat kelima, "Wa lasawfa yu’thika rabbuka fatardha," adalah janji yang luar biasa personal dan menghangatkan. Allah berjanji akan memberikan kenikmatan kepada Nabi Muhammad SAW hingga beliau merasa ridha dan puas. Janji ini terwujud penuh di akhirat dengan syafaat dan tingkatan surga tertinggi.
Untuk menguatkan pesan bahwa Allah selalu hadir, Surah Ad-Dhuha mengingatkan Rasulullah akan rahmat yang telah diberikan-Nya di masa lampau.
Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu (6)? Dan Dia mendapatimu seorang yang bingung, lalu Dia memberimu petunjuk (7)? Dan Dia mendapatimu seorang yang kekurangan, lalu Dia memberimu kecukupan (8)?
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT telah menolong Nabi dalam tiga kondisi terlemahnya: yatim piatu, kebingungan spiritual, dan kemiskinan. Setelah mengingatkan akan pertolongan ini, surah ditutup dengan perintah untuk bersyukur melalui perbuatan nyata, khususnya terhadap kaum lemah.
Perintah untuk tidak menindas anak yatim (ayat 9) dan tidak menghardik peminta (ayat 10) menegaskan bahwa rasa syukur sejati harus diwujudkan dalam bentuk empati dan keadilan sosial. Surah Ad-Dhuha mengajarkan bahwa ketika seseorang merasakan kehangatan kasih sayang Ilahi setelah masa sulit, ia wajib memancarkan kehangatan itu kepada sesama, terutama mereka yang rentan. Ini adalah lingkaran rahmat yang sempurna.
Surah Ad-Dhuha adalah jaminan universal bahwa Allah tidak pernah lupa atau meninggalkan hamba-Nya yang berusaha taat, meskipun jalan tampak gelap atau terputus. Bagi pembacanya, surah ini adalah suntikan semangat, pengingat akan potensi kebaikan yang lebih besar di masa depan, serta tuntunan praktis untuk bersyukur melalui tindakan nyata terhadap sesama. Keindahan dan ketenangan yang terkandung di dalamnya menjadikan surah ini salah satu bacaan favorit untuk menenteramkan hati di pagi hari.