Surah Al-Lail (Malam Hari) adalah salah satu surat pendek dalam Al-Qur'an yang berbicara tentang kontras kehidupan, perbedaan jalan hidup manusia, dan akhirnya, pertanggungjawaban mutlak di akhirat. Surat ini dibuka dengan sumpah-sumpah agung Allah SWT yang menegaskan kebesaran ciptaan-Nya sebagai bukti kekuasaan-Nya.
Pembahasan utama surat ini adalah mengenai dua jenis manusia: mereka yang bersedekah dan bertakwa, serta mereka yang kikir dan merasa cukup diri. Ayat-ayat ini memberikan kerangka moral yang jelas mengenai bagaimana seharusnya seorang hamba menjalani kehidupannya di dunia.
Fokus utama pembahasan kita adalah ayat ketujuh yang sangat fundamental dalam konsep rezeki dan pemanfaatan harta:
*(Catatan: Dalam beberapa tafsir, ayat 7 dan 8 sering dibahas bersamaan untuk memberikan konteks penuh mengenai dua golongan).*
Ayat 7 Surah Al-Lail, meskipun singkat, memuat dua pilar utama dalam etika sosial dan spiritual Islam. Allah SWT tidak hanya melihat pada intensitas ibadah ritual, tetapi juga pada implementasi nilai-nilai kebaikan dalam berinteraksi dengan sesama, terutama terkait harta benda.
Harta yang dimiliki manusia sejatinya adalah titipan dari Allah SWT. Ayat ini secara eksplisit menantang sifat egoisme dan kecintaan berlebihan terhadap duniawi. Memberikan harta di sini merujuk pada sedekah, zakat, dan membelanjakan harta pada jalan yang diridhai Allah. Ini adalah ujian nyata keimanan; apakah kita mempercayai janji Allah (bahwa rezeki akan diganti) atau kita menimbunnya karena takut kekurangan.
Ketika seseorang ringan tangan dalam memberi, ia menunjukkan bahwa ia telah mengatasi penyakit kikir yang seringkali menjadi penghalang terbesar menuju kesuksesan sejati. Pemberian ini membersihkan harta dari potensi dosa dan menjadikannya sarana mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Namun, pemberian saja tidak cukup jika tanpa fondasi ketakwaan. Ketakwaan (taqwa) adalah kesadaran hati yang mendorong seseorang untuk taat kepada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Jika seseorang bersedekah hanya untuk riya' (pamer) atau mengharapkan pujian manusia, tanpa didasari ketakwaan yang tulus kepada Allah, maka nilai amalnya akan berkurang drastis.
Orang yang bertakwa akan memastikan bahwa setiap pemberiannya sesuai syariat, ditujukan untuk mencari keridhaan Allah, dan dilakukan dengan hati yang ikhlas, bukan karena terpaksa atau pamrih. Ketakwaan memastikan bahwa tindakan baik itu berkelanjutan dan bukan sekadar momen sesaat.
Ayat sebelumnya, yang berbunyi "Sesungguhnya usahamu itu bermacam-macam (berbeda-beda)" (ayat 4), menjadi penutup sempurna bagi ayat 7 ini. Usaha manusia di dunia terbagi jelas menjadi dua jalur utama yang konsekuensinya sangat berbeda:
Pemahaman mendalam terhadap Surah Al-Lail ayat 7 memaksa kita untuk merefleksikan alokasi waktu, energi, dan terutama harta kita. Apakah kita sedang menumpuk aset dunia yang kelak akan menjadi beban pertanggungjawaban, ataukah kita menggunakannya sebagai jembatan untuk meraih keridhaan dan kemudahan abadi dari Allah SWT?
Intinya, ayat ini adalah seruan untuk proaktif dalam berbagi dan menjadikan ketakwaan sebagai kompas utama dalam setiap tindakan, termasuk dalam urusan finansial. Dunia adalah ladang ujian, dan sedekah yang disertai ketakwaan adalah investasi terbaik yang hasilnya akan tampak jelas pada hari pembalasan.