Ilustrasi sederhana perjalanan pencarian ilmu dalam Surah Al-Kahfi.
Kisah Nabi Musa AS bersama muridnya, Yusa' bin Nun, dan pertemuannya dengan hamba Allah yang saleh, Khidr, adalah salah satu narasi paling mendalam dalam Al-Qur'an. Bagian dari kisah ini, khususnya ayat 71 hingga 80 dalam Surah Al-Kahfi, menyoroti tema penting tentang keterbatasan ilmu manusia, hikmah di balik peristiwa yang tampak buruk, dan pentingnya kesabaran dalam menghadapi ketidakpahaman.
71. Maka berjalanlah keduanya hingga tatkala keduanya telah menaiki perahu, Khidr melobanginya. Musa berkata: "Mengapakah kamu melobangi perahu itu? Apakah kamu bermaksud menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar.
Kisah dimulai dengan tindakan Khidr yang sekilas tampak destruktif: melubangi kapal. Bagi Musa, yang hanya memahami logika lahiriah, tindakan ini adalah kejahatan karena akan menenggelamkan semua penumpang. Ini adalah ujian pertama kesabaran Musa, menuntutnya untuk menahan penilaian berdasarkan apa yang ia lihat.
72. Khidr berkata: "Bukankah aku telah berkata, sesungguhnya kamu tidak akan dapat bersabar bersamaku?"
Teguran lembut dari Khidr mengingatkan Musa akan janjinya untuk tidak banyak bertanya. Musa mengakui bahwa ia telah melanggar janji tersebut karena terkejut dengan tindakan Khidr. Ayat ini menekankan bahwa pengetahuan yang mendalam seringkali memerlukan kerendahan hati dan kesabaran luar biasa.
73. Musa berkata: "Janganlah kamu menghukumku karena aku lupa dan janganlah kamu membebaniku terhadap urusanku dengan suatu kesulitan (yang tinggi)".
Musa memohon ampun atas kelupaan dan meminta Khidr untuk melanjutkan perjalanan, menunjukkan bahwa meskipun ia merasa bersalah, hasratnya untuk belajar lebih besar daripada rasa malunya.
74. Maka berjalanlah keduanya sehingga tatkala keduanya bertemu dengan seorang anak laki-laki, lalu Khidr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah membunuh seorang anak yang suci (tanpa kesalahan). Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang sangat keji".
Peristiwa kedua jauh lebih berat di mata Musa: pembunuhan seorang anak muda yang tampak tidak berdosa. Ini adalah puncak dari ketidakmampuan Musa memahami hikmah tersembunyi. Tindakan ini terlihat sangat kejam dari sudut pandang kemanusiaan biasa, tetapi kita akan melihat bahwa ada rencana Ilahi di baliknya.
75. Khidr berkata: "Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, sesungguhnya kamu tidak sekali-kali akan dapat bersabar menghadapi aku?"
Khidr mengulang peringatan, namun kali ini ia membuka sedikit tabir ilmunya.
76. Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu; sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur (alasan) kepadaku".
Musa kini sadar akan batas pengetahuannya dan berjanji untuk menahan diri jika terjadi kejadian ketiga.
77. Maka berjalanlah keduanya sehingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu, tetapi penduduk negeri itu menolak untuk menjamu mereka, lalu keduanya mendapati dalam negeri itu dinding yang hampir roboh, maka Khidr menegakkan kembali dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu dapat mengambil upah untuk itu".
Peristiwa ketiga adalah tentang kebaikan tanpa pamrih. Khidr memperbaiki dinding secara sukarela tanpa meminta imbalan, menunjukkan bahwa amal baik yang murni tidak menuntut balasan materi.
78. Khidr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dan kamu; aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat menyelesaikannya dengan sabar".
Momen penjelasan tiba. Khidr menjelaskan mengapa ia melakukan ketiga hal tersebut.
79. Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku sengaja merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap perahu (yang baik) dengan paksa.
Melubangi perahu adalah tindakan pencegahan agar raja zalim tidak merampasnya.
80. Adapun anak itu, kedua orang tuanya adalah orang-orang yang beriman, dan kami khawatir bahwa ia (anak itu) akan mendorong kedua orang tuanya kepada kesesatan karena durhaka dan kekafirannya. Maka kami menghendaki Tuhanmu mengganti bagi mereka (dengan anak) yang lebih baik kesuciannya daripada anak itu dan lebih dekat (tali kasih) kepada orang tuanya.
Membunuh anak itu adalah rahmat, karena anak tersebut ditakdirkan menjadi kafir dan membawa orang tuanya dalam kesesatan. Allah menggantinya dengan anak yang lebih baik dan lebih saleh.
Bagian kisah ini memberikan pelajaran fundamental bagi umat Islam. Pertama, ia mengajarkan kerendahan hati di hadapan ilmu Allah yang Maha Luas. Musa AS, seorang Nabi besar, diberi pelajaran bahwa ilmu yang dimilikinya terbatas pada aspek zahir. Kedua, ayat-ayat ini menegaskan bahwa seringkali di balik musibah atau tindakan yang tampak negatif (seperti melubangi kapal atau kematian), terdapat hikmah perlindungan dan rahmat Ilahi yang hanya diketahui oleh Allah SWT.
Perintah untuk bersabar (“Janganlah kamu bersabar bersamaku”) bukan hanya sekadar tantangan, tetapi juga penanda bahwa pemahaman terhadap kebijaksanaan Ilahi memerlukan tingkat kesabaran dan iman yang melampaui pemikiran rasional sesaat. Kisah ini menjadi pengingat abadi bahwa Tuhan mengatur segala sesuatu demi kebaikan ultimate, meskipun jalan menuju kebaikan itu terlihat berliku dan sulit diterima oleh akal kita.
Kisah perpisahan antara Musa dan Khidr menggarisbawahi bahwa setiap orang diberi ilmu sesuai kapasitasnya. Musa harus kembali dengan pengetahuannya sebagai seorang Nabi yang memimpin umat dengan syariat, sementara Khidr adalah representasi ilmu laduni (ilmu yang langsung dari Allah) yang bersifat khusus. Pemahaman penuh hanya akan didapatkan saat kita benar-benar melepaskan ego penilaian kita dan menyerahkan segala urusan kepada Ar-Rahman, Sang Maha Pengasih.