Surah Al-Kahfi, yang sering direkomendasikan untuk dibaca setiap hari Jumat, mengandung banyak pelajaran penting mengenai ujian keimanan, kesabaran, ilmu, dan kekuasaan duniawi. Di antara ayat-ayat yang tegas dalam memberikan peringatan adalah ayat ke-37. Ayat ini secara spesifik menyoroti bahaya kesombongan dan penolakan terhadap kebenaran, sebuah dialog yang terjadi antara dua individu dalam konteks kisah pemilik kebun.
وَكَانَ لَهُۥ ثَمَرٌ فَقَالَ لِصَٰحِبِهِۦ وَهُوَ يُحَاوِرُهُۥٓ أَنَا۠ أَكْثَرُ مِنكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا
(Wa kāna lahū ṡamrun fa-qāla liṣāḥibihi wa huwa yuḥāwiruhu anā akṡaru minka mālan wa aʿazzu nafarā.)Terjemahan: "Dan dia (pemilik kebun yang kufur) memiliki (buah-buahan), lalu ia berkata kepada kawannya (yang beriman) sedang ia berbincang-bincang dengannya, 'Hartaku lebih banyak daripadamu dan (jumlah) pengikutku lebih kuat.'"
Ayat 37 ini merupakan kelanjutan dari kisah dua orang yang memiliki kebun (sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya). Satu orang adalah mukmin yang rendah hati, sementara yang lain adalah seorang kafir yang sombong dan terpedaya oleh kekayaan duniawinya. Dalam dialog perbincangan mereka, pemilik kebun yang ingkar ini melontarkan dua klaim utama yang menunjukkan sifat arogansinya.
Klaim pertama berkaitan dengan akumulasi kekayaan duniawi. Bagi pemilik kebun ini, banyaknya harta adalah tolok ukur utama kesuksesan dan superioritas. Ia melihat hartanya sebagai bukti validitas keyakinannya dan merendahkan temannya yang mukmin karena memiliki aset yang lebih sedikit. Ini adalah jebakan umum yang dihadapi manusia: mengidentifikasi nilai diri dan kebenaran berdasarkan kepemilikan materi yang sifatnya sementara.
Klaim kedua menunjukkan bahwa ia mengukur kekuatan bukan hanya dari aset, tetapi juga dari dukungan sosial dan jumlah bala bantuan ("Nafar"). Dalam pandangan orang yang sombong, popularitas, pengikut yang banyak, atau jaringan yang kuat adalah jaminan atas kebenaran atau kekebalan dari kegagalan. Ia merasa aman karena dikelilingi oleh orang-orang yang mendukung status dan kekayaannya.
Ayat ini memberikan pelajaran mendalam tentang tipu daya dunia (Ghurur). Kesombongan yang ditunjukkan oleh pemilik kebun tersebut bukan hanya sekadar membanggakan diri, tetapi merupakan bentuk penolakan halus terhadap konsep takdir dan kekuasaan Allah SWT. Jika hartanya banyak, itu adalah nikmat dari Allah, bukan hasil murni kekuatan dirinya semata. Namun, ia lupa bahwa sumber rezeki tersebut berada di tangan Tuhan yang memberinya.
Kontras dengan Sikap Mukmin: Penting untuk dicatat bahwa respon si mukmin tidak dicantumkan di sini. Kisah ini sengaja diulang di ayat-ayat selanjutnya (Ayat 38 dst) untuk menonjolkan kontras antara keangkuhan duniawi dan kerendahan hati yang berlandaskan keimanan. Si mukmin tidak membalas dengan perbandingan harta, melainkan mengingatkan kawannya bahwa semua kemuliaan itu sesungguhnya adalah milik Allah dan bisa dicabut sewaktu-waktu.
Fokus yang Salah: Orang yang bersikap seperti ini, menganggap harta dan pengikut sebagai kekuasaan sejati, sesungguhnya telah menempatkan prioritasnya pada hal yang fana. Ia fokus pada "jumlah" (kuantitas) daripada "kualitas" (ketaatan dan keikhlasan). Dalam pandangan Islam, kekuatan sejati terletak pada kedekatan dengan Allah, bukan pada seberapa besar 'pasukan' yang kita miliki di dunia.
Fenomena Kontemporer: Di zaman modern, ayat ini masih sangat relevan. Seringkali kita melihat individu atau entitas yang begitu percaya diri dengan kekuatan finansial, jumlah pengikut di media sosial, atau pengaruh politik mereka, sehingga mereka merasa kebal dari teguran atau kebenaran yang datang dari pihak yang dianggap "lebih lemah" secara materi. Ayat 37 Al-Kahfi berfungsi sebagai cermin yang mengingatkan bahwa kesombongan berbasis materi adalah pintu menuju kehancuran, sebagaimana yang dialami oleh pemilik kebun tersebut ketika Allah mencabut nikmatnya.