وَيَقُولُونَ خَمْسَةٌ وَسَادِسُهُمْ كَلْبُهُمْ وَيَقُولُونَ سَبْعَةٌ وَثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ ۚ قُلِ ارْتَبْتُ بِغَيْبِ رَبِّي ۖ لَا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا قَلِيلٌ ۗ فَلَا تُمَارِ فِيهِمْ إِلَّا مِرَاءً ظَاهِرًا وَلَا تَسْتَفْتِ فِيهِم مِّنْهُمْ أَحَدًا
Terjemahan:
Dan mereka berkata: "(Jumlah mereka) lima (orang), yang keenam adalah anjing mereka", dan mereka berkata: "(Jumlah mereka) tujuh, yang ketujuh adalah anjing mereka". Katakanlah: "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada yang mengetahuinya kecuali segelintir orang". Maka janganlah kamu mempersoalkan (tentang jumlah mereka) kecuali perdebatan yang tampak saja dan janganlah kamu menanyakan tentang (hitungan) mereka kepada seorang pun dari mereka.
Ayat 22 dari Surah Al-Kahfi ini membahas perbedaan pendapat di antara orang-orang mengenai jumlah pasti Ashabul Kahfi (pemuda Ashabul Kahfi) yang tertidur di gua. Beberapa orang berpendapat lima, sementara yang lain berpendapat tujuh. Ayat ini menyoroti fakta bahwa meskipun ada perdebatan manusiawi, pengetahuan mutlak tentang jumlah mereka hanya dimiliki oleh Allah SWT. Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk tidak terlibat terlalu jauh dalam perdebatan dangkal mengenai detail jumlah ini, kecuali dalam batas diskusi yang sifatnya umum dan tidak mendalam, serta tidak menanyakan lebih lanjut kepada mereka yang belum jelas informasinya.
Ilustrasi abstrak tentang gua dan cahaya, melambangkan perlindungan ilahi di tengah ketidakpastian.
Ayat ini mengajarkan kepada umat Islam mengenai pentingnya menerima batasan pengetahuan manusia. Ketika dihadapkan pada kisah-kisah masa lalu atau misteri alam gaib, kita didorong untuk berpegang pada apa yang jelas disampaikan dalam wahyu, dan tidak terjerumus dalam perdebatan yang tidak produktif mengenai detail yang tidak dikonfirmasi oleh sumber otentik.
Perintah "fala tumāri fīhim illā mirā'an ẓāhiran" (maka janganlah kamu mempersoalkan (tentang jumlah mereka) kecuali perdebatan yang tampak saja) menunjukkan bahwa perdebatan yang tidak menghasilkan kebenaran yang pasti, hanya akan membuang energi dan waktu. Dalam konteks kisah Ashabul Kahfi, perdebatan tentang jumlah mereka adalah perkara sekunder; substansi utama kisah ini adalah keajaiban pemeliharaan Allah terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman.
Ketika kita dihadapkan pada informasi yang ambigu atau kurang lengkap, sikap terbaik adalah mengakui ketidaktahuan kita dan menyerahkan pengetahuan penuh kepada Allah. Ayat ini menegaskan bahwa hanya sedikit orang yang benar-benar memahami misteri tersebut. Ini adalah pelajaran penting tentang kerendahan hati intelektual, mengingatkan kita bahwa kebenaran yang hakiki hanya ada pada Sang Pencipta.
Dalam dunia informasi yang serba cepat saat ini, di mana setiap orang mudah menyebarkan spekulasi, ayat ini menjadi pengingat vital. Kita sering melihat perdebatan sengit mengenai berbagai isu, baik keagamaan maupun sekuler, yang didasarkan pada dugaan semata. Surah Al-Kahfi, khususnya ayat 22, mendorong kita untuk fokus pada inti ajaran dan kebenaran yang kokoh, sambil menjaga jarak dari diskusi yang bersifat spekulatif dan tanpa dasar yang kuat.
Dengan memahami konteks dan makna mendalam dari Surah Al Kahfi ayat 22, seorang mukmin diajak untuk lebih bijaksana dalam berinteraksi dengan informasi, selalu meyakini bahwa ilmu Allah melampaui pemahaman manusia, dan memfokuskan energi pada hal-hal yang membawa manfaat nyata dalam keimanan dan amal saleh.