Surah Al-Kahfi adalah salah satu surat terpanjang dalam Al-Qur'an yang sarat makna, sering kali menjadi bacaan sunnah di hari Jumat karena mengandung kisah-kisah peringatan, salah satunya kisah Ashabul Kahfi (pemuda Ashab). Namun, bagian akhir dari surah ini, khususnya ayat 109 dan 110, sering kali menjadi penutup yang kuat, merangkum esensi ajaran tauhid dan batasan pengetahuan manusia di hadapan keagungan Allah SWT.
Dua ayat terakhir ini memberikan penekanan mendasar mengenai keterbatasan ilmu manusia versus keluasan ilmu Tuhan. Dalam konteks pembahasan surah yang luas, ayat-ayat ini berfungsi sebagai pengingat terakhir agar seorang mukmin tidak terjerumus dalam kesombongan intelektual atau mengklaim mengetahui hal-hal gaib yang menjadi hak prerogatif Allah semata.
Teks dan Terjemahan Surah Al-Kahfi Ayat 109
Katakanlah: "Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya habislah lautan itu sebelum habis (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan bahan sebanyak itu (sebagai tambahannya)."
(QS. Al-Kahfi: 109)Ayat 109 ini menggunakan metafora yang sangat kuat: lautan dijadikan tinta. Dalam tradisi Arab, lautan adalah simbol keluasan yang tak terbatas. Namun, Allah menegaskan bahwa keluasan lautan pun akan habis jika digunakan untuk menuliskan kata-kata-Nya. Ini mengilustrasikan betapa tak terbatasnya ilmu Allah. Setiap kata, setiap perintah, dan setiap ciptaan-Nya jauh melampaui kapasitas pemahaman dan pencatatan manusia, bahkan jika alam semesta dijadikan media penulisan.
Para ulama menafsirkan "kalimat-kalimat Tuhan" di sini tidak hanya merujuk pada Al-Qur'an yang tertulis, tetapi juga ilmu-Nya yang mencakup semua hukum alam, rahasia penciptaan, dan seluruh peristiwa yang telah dan akan terjadi. Ini adalah pengingat agar kita selalu bersikap tawadhu' (rendah hati) dalam mencari ilmu, menyadari bahwa pencarian itu akan berakhir, sementara Sumber ilmu itu abadi.
Teks dan Terjemahan Surah Al-Kahfi Ayat 110
Katakanlah: "Sesungguhnya Aku ini hanyalah seorang manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhanmu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan jangan ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya."
(QS. Al-Kahfi: 110)Ayat 110 menjadi penutup yang mengikat ajaran tauhid. Setelah menjelaskan keluasan ilmu Allah pada ayat sebelumnya, Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menegaskan hakikat dirinya: beliau hanyalah seorang manusia biasa, namun mendapatkan keistimewaan wahyu. Penekanan ini mencegah umat dari mengkultuskan Rasulullah hingga ke tingkat ketuhanan.
Dua Pilar Utama dalam Ayat Penutup
Ayat 110 menetapkan dua pilar utama dalam kehidupan seorang Muslim yang mencari keridhaan Allah:
- Tauhid Murni (Keesaan Tuhan): Penegasan bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah SWT.
- Amal Saleh yang Ikhlas: Bagi mereka yang merindukan perjumpaan dengan Allah di Hari Kiamat (mendapatkan surga), kuncinya adalah melakukan amal saleh tanpa dicampuri oleh unsur kesyirikan (menyekutukan Allah).
Korelasi antara ayat 109 dan 110 sangat erat. Karena ilmu Allah tak terbatas dan keagungan-Nya melampaui pemahaman kita, maka satu-satunya jalan yang logis dan selamat adalah mengikuti petunjuk yang diwahyukan—yaitu, berpegang teguh pada tauhid (penyembahan tunggal) dan membuktikan keimanan itu melalui perbuatan baik yang tulus. Memahami Surah Al-Kahfi hingga akhir ayat ini memberikan penutup spiritual yang sempurna, mengingatkan kita tentang batas kemampuan manusia dan keharusan untuk berpegang pada petunjuk ilahi hingga akhir hayat.
Demikianlah penutup Surah Al-Kahfi, sebuah pengingat abadi akan keagungan Allah dan kewajiban kita untuk beribadah dengan ikhlas.