Salah satu pengingat terkuat dalam Al-Qur'an mengenai hakikat kehidupan ini terdapat dalam Surah Al-Kahfi ayat 103. Ayat ini berfungsi sebagai penyeimbang spiritual, mengingatkan kita agar tidak tertipu oleh gemerlap kehidupan duniawi.
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا
Katakanlah: "Maukah Kami beritakan kepadamu tentang orang-orang yang paling rugi amalnya?"
Ayat ini merupakan pembukaan naratif penting yang memicu pertanyaan retoris dari Allah SWT melalui lisan Nabi Muhammad ﷺ. Pertanyaan ini memaksa setiap pendengar untuk merenung: Siapakah mereka yang amalnya paling merugikan?
Ayat 103 tidak berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari rangkaian ayat (ayat 102-104) yang membahas tentang kekeliruan cara pandang orang-orang kafir atau mereka yang melupakan akhirat. Surah Al-Kahfi sendiri dikenal sebagai surah yang membahas empat ujian besar dalam kehidupan: ujian harta, ujian ilmu, ujian kekuasaan (pemuda Ashabul Kahfi), dan ujian kebenaran (Nabi Musa dan Khidir).
Ayat-ayat sebelum ayat 103 telah menjelaskan bahwa banyak manusia yang menyangka bahwa perbuatan baik mereka di dunia sudah cukup, tanpa menyadari bahwa standar perhitungan Allah berbeda dengan standar manusia. Mereka membangun peradaban dan akumulasi kekayaan, namun landasannya tidak didasarkan pada keimanan yang benar.
Ayat 103 adalah jembatan menuju penjelasan tentang kerugian terbesar. Kerugian dalam konteks ini bukan sekadar kehilangan materi, melainkan kehilangan segala yang telah diusahakan di dunia karena amal tersebut tidak memiliki nilai di sisi Allah.
Ayat selanjutnya (Ayat 104) memberikan jawabannya secara eksplisit: mereka adalah orang-orang yang usahanya tersesat dalam kehidupan dunia, padahal mereka menyangka telah melakukan perbuatan yang baik. Kerugian ini terjadi karena beberapa faktor utama:
Mengapa kerugian ini disebut "paling rugi" (الأخسرين - *al-akhsarīn*)? Karena mereka telah mengorbankan sesuatu yang kekal (akhirat) demi sesuatu yang pasti fana (dunia). Mereka menghabiskan seluruh energi hidupnya pada aset yang nilainya akan musnah saat kematian menjemput.
Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang sering kali mengukur kesuksesan hanya dari pencapaian duniawi—jabatan, kekayaan, popularitas digital—ayat ini menjadi alarm yang sangat relevan. Fokus haruslah dialihkan dari akumulasi dunia menuju kualitas amal yang berorientasi akhirat.
Untuk menghindari nasib orang yang paling rugi amalnya, seorang Muslim harus senantiasa memeriksa niatnya (ikhlas), memastikan amalannya sesuai tuntunan syariat (ittiba'), dan selalu memohon perlindungan kepada Allah dari kesesatan yang datang melalui godaan duniawi. Kesadaran bahwa semua pencapaian dunia hanyalah alat, bukan tujuan akhir, adalah kunci untuk menafsirkan ayat ini dengan benar. Kita beramal di dunia agar meraih kebahagiaan abadi, bukan sebaliknya.