Peringatan Mengenai Mereka yang Terlena Dunia
Surah Al-Kahfi (Gua) adalah salah satu surah yang sangat dianjurkan untuk dibaca, terutama pada hari Jumat. Ayat 101 hingga 105 menutup pembahasan utama surah ini, memberikan penutup yang kuat tentang perbedaan nasib antara mereka yang berpaling dari ayat-ayat Allah dan mereka yang mengikhlaskan amalannya untuk mencari keridhaan-Nya. Ayat-ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras bagi orang-orang yang menjadikan kehidupan dunia sebagai fokus utama mereka.
Ayat-ayat ini secara khusus membahas kondisi batin orang-orang kafir atau mereka yang lalai. Mereka telah diperingatkan berulang kali melalui tanda-tanda alam semesta dan wahyu ilahi, namun mata hati mereka tertutup rapat. Fokus utama dalam rentang ayat ini adalah kontras antara kemuliaan akhirat bagi orang beriman dan kesia-siaan total bagi para pengaba.
Berikut adalah teks Arab beserta terjemahan singkat dari ayat-ayat yang menjadi fokus utama pembahasan ini:
Ayat 101 hingga 105 memberikan gambaran suram tentang **kesia-siaan** yang dikerjakan oleh mereka yang menolak kebenaran. Poin penting yang ditekankan adalah paradoks: mereka bekerja keras, membangun, berinovasi, dan merasa bangga dengan pencapaian mereka di dunia ('mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya'). Namun, karena landasan amal tersebut adalah kekufuran atau penolakan terhadap tauhid (keesaan Allah), seluruh usaha tersebut menjadi batal.
Ayat 102 secara eksplisit menyoroti kesombongan spiritual. Ketika seseorang menjadikan selain Allah sebagai wali (pelindung, penolong, atau sembahan), mereka telah menempatkan diri mereka pada posisi yang sangat berbahaya. Allah SWT menegaskan bahwa tempat bagi mereka yang memilih jalan ini adalah Jahannam. Ini bukan sekadar hukuman; ini adalah konsekuensi logis dari pilihan hidup mereka. Dunia yang mereka kejar dengan gigih ternyata hanyalah tempat persinggahan sementara, sementara persiapan akhirat mereka cacat total.
Puncak dari peringatan ini terdapat dalam ayat 105. Allah menyatakan bahwa amal mereka tidak akan mendapatkan "wazn" (timbangan) pada hari Kiamat. Dalam konteks perhitungan amal, memiliki timbangan berarti amal itu diakui nilainya. Jika amal tidak ditimbang, itu berarti nilainya nol, tidak berarti apa-apa, meskipun jumlahnya banyak di mata duniawi. Ini menegaskan bahwa kualitas (keikhlasan dan kebenaran akidah) jauh lebih penting daripada kuantitas.
Bagi seorang Muslim, ayat-ayat ini menjadi pengingat agar senantiasa memeriksa niat. Kita harus memastikan bahwa segala usaha dan pencapaian di dunia ini, baik itu ilmu, harta, atau kekuasaan, dijadikan wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan tujuan akhir. Keimanan yang benar dan pengakuan terhadap ayat-ayat Allah adalah syarat mutlak agar amal perbuatan kita tidak menjadi sia-sia sebagaimana yang digambarkan pada golongan yang disebutkan dalam ayat 104. Keberuntungan sejati adalah ketika amal kita diakui dan diterima di sisi Allah, bukan semata-mata pujian manusia di permukaan bumi.