Ilustrasi perbandingan antara harta dunia yang fana dan kekekalan akhirat.
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan duniawi, tetapi amal-amal yang kekal lagi saleh itu lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik untuk dijadikan harapan.
Ayat ke-46 dari Surah Al-Kahfi adalah salah satu ayat yang sangat fundamental dalam Islam mengenai perspektif dunia dan akhirat. Ayat ini dibuka dengan pernyataan yang jelas: "Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan duniawi." Ini bukan berarti harta dan anak adalah sesuatu yang buruk. Sebaliknya, Allah SWT mengakui bahwa keduanya merupakan nikmat dan kesenangan yang menghiasi perjalanan hidup manusia di bumi.
Namun, penekanan kata "perhiasan" (zina) menyiratkan sifat sementara dan estetika belaka. Mereka mempercantik kehidupan, namun tidak menentukan nilai hakiki atau kebahagiaan abadi seorang hamba. Dalam konteks cerita Ashabul Kahf yang dibahas dalam surah ini, ayat ini berfungsi sebagai pengingat kuat bahwa mengikuti hawa nafsu duniawi, termasuk ketamakan akan kekayaan dan keinginan akan keturunan yang banyak demi kemuliaan dunia, dapat menjauhkan seseorang dari tujuan utama penciptaan mereka.
Setelah menempatkan harta dan keturunan pada posisinya yang sebenarnya—sebagai penghias fana—Allah SWT segera memperkenalkan standar nilai yang sejati: "tetapi amal-amal yang kekal lagi saleh (Al-Baqiyatush Shalihah) itu lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik untuk dijadikan harapan."
Apa itu Al-Baqiyatush Shalihah? Para ulama menafsirkannya sebagai segala perbuatan baik yang pahalanya terus mengalir meskipun pelakunya telah meninggal dunia. Ini mencakup shalat yang khusyuk, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat yang diajarkan, doa anak saleh untuk orang tuanya, hingga menanam pohon yang memberi manfaat bagi orang lain. Perbuatan ini memiliki dua keunggulan utama:
Memahami Surah Al-Kahfi ayat 46 memberikan ketenangan psikologis. Ketika seseorang terlalu terikat pada pencapaian materi atau status sosial berbasis keturunan, mereka rentan terhadap kecemasan dan kesedihan mendalam ketika kehilangan aset tersebut. Ayat ini mengajarkan keseimbangan: nikmati karunia duniawi sebagai titipan, namun alokasikan energi terbesar untuk investasi akhirat.
Ayat ini mendorong kita untuk bertanya: Seberapa banyak waktu yang kita habiskan untuk mencari harta yang sementara, dibandingkan dengan waktu yang kita alokasikan untuk menanam benih amal yang abadi? Jika harta adalah perhiasan, maka amal saleh adalah substansi. Perhiasan bisa hilang dimakan zaman, tetapi substansi adalah pondasi yang kokoh bagi kehidupan setelah kematian. Marilah kita menjadikan ayat ini sebagai kompas yang mengarahkan prioritas hidup kita, menjauhi perlombaan duniawi yang sia-sia, dan berlomba menuju amalan yang diridhai Allah SWT.