Latar Belakang Kesedihan Nabi Muhammad SAW
Tiga ayat pertama Surah Al-Kahfi (ayat 1-3) telah menegaskan kemuliaan Al-Qur'an sebagai petunjuk yang lurus. Namun, setelah pujian tersebut, Allah SWT menampilkan gambaran emosional yang mendalam melalui ayat 4 hingga 6. Ayat-ayat ini menyoroti reaksi Nabi Muhammad SAW terhadap penolakan dan sikap keras kepala kaum Quraisy Mekkah dalam menerima risalah Islam.
Ayat 6 secara eksplisit menyebutkan kesedihan Nabi. Mengapa seorang Nabi yang membawa kebenaran harus merasa sedih hingga hampir mencelakai diri sendiri? Kesedihan ini timbul karena melihat betapa banyak orang yang berpaling dari ayat-ayat Allah yang jelas, yang seharusnya menjadi penenang hati dan petunjuk kehidupan. Rasa tanggung jawab beliau yang sangat besar terhadap umatnya membuat penolakan mereka menjadi beban yang amat berat.
Teks Ayat 6 hingga 10 (Transliterasi dan Terjemah)
Ayat 6:
Fa 'alaika baa'i'u nafsika 'ala aatsaarihim in lam yu'minuu bihaadhal hadiitsi asafaa.
"Maka (seka-rang) barangkali kamu akan membinasakan dirimu karena bersedih hati mengikuti jejak mereka, seandainya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur'an)."Ayat 7:
Innaa ja'alnaa maa 'alaal ardhi ziinatan lahaa li-nabluwahum ayyuhum ahsanu 'amalaa.
"Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya."Ayat 8:
Wa innaa laja'iluuna maa 'alaihaa sa'iidan jubaaraa.
"Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (permukaan) bumi itu padang pasir yang tandus."Ayat 9:
Am hasibta anna ashaabal kahfi war raqiimi kaanuu min aayaatinaa 'ajabaa?
"Apakah kamu mengira bahwa orang-orang Ashhabul Kahfi dan Ar-Raqim itu adalah suatu keajaiban di antara tanda-tanda kekuasaan Kami?"Ayat 10:
Idh awal fata-yad ilal kahfi faqaaluu rabbanaa aatinaa min ladunka rahmatanw wa hayyi' lanaa min amrinaa rasyadaa.
"Ketika para pemuda itu mencari perlindungan ke dalam gua, lalu mereka berdoa, 'Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu dan siapkanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini.'"Pelajaran dari Ayat 6: Jangan Melampaui Batas Kepedulian
Ayat 6 berfungsi sebagai peringatan lembut dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Meskipun tugas kenabian menuntut empati dan kasih sayang yang mendalam, seorang rasul tidak boleh membiarkan kesedihan karena kegagalan dakwah menghancurkan dirinya sendiri ("membinasakan dirimu"). Ini mengajarkan prinsip penting: tanggung jawab moral terhadap risalah harus diimbangi dengan menjaga kesehatan jiwa dan mental. Allah menegaskan bahwa tugas Nabi adalah menyampaikan, bukan memaksa keimanan.
Kesedihan Nabi adalah cerminan betapa besar kecintaan beliau terhadap umatnya. Namun, Allah menunjukkan bahwa kesedihan yang berlebihan tidak produktif dan dapat mengalihkan fokus dari tujuan utama, yaitu menyampaikan risalah dengan sabar.
Pelajaran dari Ayat 7-8: Hakikat Duniawi
Ayat 7 dan 8 memberikan kontras tajam dengan kesedihan Nabi. Dunia ini diciptakan sebagai "perhiasan" (ziinatan) semata-mata untuk menguji kualitas amal manusia. Keindahan, kekayaan, dan kesenangan duniawi hanyalah alat ujian. Setelah ujian selesai, Allah menegaskan bahwa semua perhiasan ini akan dilenyapkan, bumi akan menjadi "padang pasir yang tandus" (jubaaraa). Kontemplasi tentang kefanaan dunia ini seharusnya mengurangi beban mental akibat penolakan duniawi. Jika dunia memang fana, maka penolakan sementara kaum Quraisy seharusnya tidak membuat Nabi putus asa hingga merusak diri.
Pelajaran dari Ayat 9-10: Keajaiban Sejati dan Kekuatan Doa
Ayat 9 dan 10 mengalihkan fokus dari kesedihan Nabi menuju contoh nyata pertolongan Allah: Kisah Ashabul Kahfi (Para Pemilik Gua). Ketika Allah bertanya, "Apakah kamu mengira mereka adalah keajaiban?" (Ayat 9), ini mengisyaratkan bahwa keajaiban terbesar bukanlah tidur panjang mereka, melainkan bagaimana Allah memelihara mereka.
Puncak dari ayat-ayat ini adalah doa mereka yang tercatat di Ayat 10. Ketika menghadapi ancaman terbesar—kematian atau pemaksaan akidah—pemuda-pemuda itu tidak mengandalkan kekuatan fisik atau strategi canggih, melainkan hanya bersandar penuh kepada Allah: "Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu dan siapkanlah bagi kami petunjuk yang lurus." Doa ini menjadi kunci keselamatan dan ketenangan bagi mereka, serta menjadi model bagi Nabi dan umatnya dalam menghadapi kesulitan dakwah. Keajaiban sejati terletak pada rahmat dan petunjuk ilahi saat menghadapi kegelapan.