Surah Al-Ikhlas (Qul Huwa Allahu Ahad) adalah salah satu surah terpendek namun memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Al-Qur'an, sering disebut sebagai sepertiga Al-Qur'an karena inti ajarannya yang memuat tauhid murni. Memahami setiap ayatnya adalah kunci untuk menguatkan akidah kita.
Secara spesifik, kita akan membahas bagaimana bunyi dari surah al ikhlas ayat ke 3 berbunyi, serta implikasinya bagi keimanan seorang Muslim.
Ilustrasi visualisasi konsep tauhid (kesempurnaan dan kebutuhan).
Berikut adalah lafadz dari Surah Al-Ikhlas ayat ketiga, yang menjadi jawaban langsung atas pertanyaan tentang hakikat Allah SWT:
Lam yalid wa lam yūlad
"Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan."
Ayat ketiga ini adalah inti penegasan terhadap konsep tauhid yang dibawa oleh Islam, yaitu meniadakan segala bentuk penyekutuan (syirik) dalam bentuk apapun terhadap Allah SWT. Ketika surah al ikhlas ayat ke 3 berbunyi "Lam yalid wa lam yūlad," ini secara tegas menolak tiga kesalahan mendasar dalam keimanan yang sering dilakukan umat terdahulu, bahkan oleh sebagian kelompok modern:
Ayat ini sangat penting karena ia menetapkan batasan eksklusif antara Khaliq (Pencipta) dan makhluq (ciptaan). Jika Allah memiliki anak atau dilahirkan, maka Dia harus tunduk pada hukum waktu, ruang, dan keterbatasan fisik, yang semuanya bertentangan dengan sifat ke-Rububiyyah-an (Ketuhanan) Allah. Kesempurnaan Allah terletak pada keunikan-Nya yang mutlak.
Ayat ini menjadi pelengkap sempurna bagi ayat pertama dan kedua. Ayat pertama berbunyi "Katakanlah, 'Dialah Allah, Yang Maha Esa'" (Tauhid al-Dzat/Esa). Ayat kedua berbunyi "Allahus Samad" (Allah adalah tempat bergantung segala sesuatu/Maha Dibutuhkan). Untuk menegaskan kemahaesaan dan kemandirian-Nya (Samad), maka harus ditegaskan bahwa Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Tiga ayat pertama ini membentuk satu kesatuan logis yang kuat dalam dakwah tauhid.
Mempelajari dengan seksama bagaimana surah al ikhlas ayat ke 3 berbunyi membantu seorang Muslim untuk menyaring akidahnya dari segala bentuk pemikiran yang menyimpang. Dalam Islam, Allah SWT tidak dapat diserupai oleh ciptaan-Nya sedikit pun, sebagaimana firman-Nya di akhir surah: "Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia." Ayat ketiga ini adalah bantahan paling ringkas dan lugas terhadap konsep persekutuan (syirik) yang paling halus, yaitu menyematkan sifat keterbatasan manusiawi kepada Tuhan Yang Maha Sempurna.
Dengan demikian, pengulangan dan penghayatan ayat ini dalam shalat maupun zikir harian kita berfungsi sebagai pemurnian iman secara kontinu, memastikan bahwa ibadah kita hanya ditujukan kepada Zat yang benar-benar layak disembah: Yang Esa, Yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, dan Yang tidak memiliki keserupaan dalam bentuk apapun.