Surah Ad-Dhuha (Dhuha) adalah surat ke-93 dalam Al-Qur'an, yang turun sebagai penghibur bagi Nabi Muhammad SAW ketika beliau mengalami jeda wahyu sesaat. Ayat kedelapan dari surat yang penuh kehangatan ini memberikan penegasan yang sangat kuat mengenai kasih sayang dan pemeliharaan Allah SWT terhadap hamba-Nya.
Ayat 8 Surah Ad-Dhuha ini merupakan poin krusial dalam rangkaian penghiburan ilahi. Ayat-ayat sebelumnya telah mengingatkan Nabi tentang nikmatnya waktu dhuha dan malam yang berselimut ketenangan. Kini, Allah SWT mengingatkan tentang perjalanan hidup beliau sebelum kenabian dan bagaimana Allah mengangkat derajat beliau.
Kata kunci dalam ayat ini adalah "ʿā’ilan" (عَائِلًا) yang berarti kekurangan, yatim, atau memerlukan. Para mufassir sepakat bahwa ini merujuk pada kondisi Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih kecil, kehilangan ayah sebelum lahir dan kehilangan ibu di usia muda. Beliau dibesarkan di bawah pengawasan kakeknya, Abdul Muthalib, dan kemudian di bawah asuhan pamannya, Abu Thalib. Secara materi, beliau adalah seorang anak yatim yang tidak memiliki harta warisan yang signifikan.
Kemudian, Allah menggunakan kata "fa-aghna" (فَأَغْنَىٰ), yang artinya "lalu Dia memberikan kecukupan" atau "membuatmu kaya." Kecukupan ini tidak semata-mata merujuk pada kekayaan materi, meskipun secara bertahap Allah juga melimpahkan rezeki melalui pernikahan dengan Khadijah r.a. dan kesuksesan perniagaan. Kecukupan yang sesungguhnya adalah:
Pelajaran dari Surah Ad-Dhuha Ayat 8 ini meluas jauh melampaui kisah pribadi Rasulullah SAW. Ayat ini berfungsi sebagai jaminan dan pengharapan bagi setiap Muslim yang mungkin sedang menghadapi kesulitan ekonomi, rasa kesendirian, atau perasaan kekurangan dalam hidupnya. Pesannya adalah pengingat abadi bahwa Allah adalah Al-Ghanni (Yang Maha Kaya) dan Al-Mughni (Yang Maha Memberi Kekayaan).
Ketika seseorang merasa terpuruk, baik karena kehilangan, kegagalan, atau kesempitan hidup, ayat ini memanggilnya untuk mengingat bahwa Allah Maha Mengetahui setiap keadaan. Jika Allah mampu mengangkat derajat seorang Nabi dari kondisi yatim dan kekurangan menjadi pemimpin umat manusia, maka Dia pasti mampu mengangkat derajat setiap hamba-Nya yang bersabar dan bertawakal.
Surah Ad-Dhuha diturunkan dalam masa-masa sulit yang dialami Nabi. Ketika jeda wahyu terjadi, kaum kafir Mekkah mulai menyebarkan fitnah bahwa Tuhan telah meninggalkan Muhammad. Rasa cemas dan sedih pasti menyelimuti Rasulullah. Turunnya surah ini, dimulai dengan sumpah demi waktu pagi (Dhuha) dan malam yang tenang, adalah penegasan bahwa:
Ayat 8 secara spesifik menutup sesi pengingat nikmat masa lalu sebelum dilanjutkan dengan perintah untuk berbuat baik kepada kaum lemah, menekankan bahwa rasa syukur atas kecukupan yang diperoleh harus diwujudkan dalam bentuk kemurahan hati kepada orang lain yang masih berada dalam posisi kekurangan.
Merenungkan Surah Ad-Dhuha ayat 8 memberikan perspektif baru tentang apa itu kekayaan sejati. Kekayaan materi bisa datang dan pergi, namun kecukupan yang dianugerahkan oleh Allah—berupa ketenangan batin, iman yang kokoh, dan tujuan hidup yang mulia—adalah aset yang kekal. Ayat ini mengajarkan kita untuk tidak berputus asa dalam kesulitan, karena pemeliharaan Ilahi selalu menyertai, membawa kita dari jalan kesempitan menuju kelapangan yang telah Dia janjikan.