Surah Ad Dhuha, yang terletak di Juz ke-30 Al-Qur'an, adalah sebuah surat pendek namun sarat akan makna penghiburan, janji, dan kepastian kasih sayang Allah SWT. Turunnya surah ini kepada Nabi Muhammad SAW pada saat-saat beliau merasa sedih dan terputus dari wahyu (masa fatrah), menjadikannya sebuah penegasan ilahiah bahwa Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya yang paling dicintai. Memahami surah Ad Dhuha bermakna secara mendalam adalah memahami hakikat pertolongan Allah yang datang setelah kesulitan.
Riwayat menyebutkan bahwa jeda turunnya wahyu selama beberapa waktu sempat membuat Nabi Muhammad SAW merasa khawatir. Kegelisahan ini adalah hal yang manusiawi, meskipun beliau adalah seorang nabi. Kekhawatiran itu diperparah oleh perkataan kaum musyrikin yang mengejek, mengatakan bahwa Tuhan telah meninggalkan Muhammad. Dalam kondisi inilah, Allah menurunkan Surah Ad Dhuha sebagai jawaban tegas dan penyembuhan spiritual.
Sumpah Allah di awal surat ini—demi waktu dhuha dan demi malam yang sepi—adalah sumpah yang sangat kuat. Waktu Dhuha melambangkan awal dari aktivitas, cahaya, dan kemuliaan setelah malam yang gelap. Ini adalah metafora bahwa setelah masa-masa sulit (malam), pasti akan datang masa kemudahan dan kejelasan (Dhuha).
Ayat ketiga dan keempat adalah inti dari surat ini, berfungsi sebagai penawar langsung terhadap kekhawatiran Nabi.
Pernyataan ini memberikan kepastian mutlak. Kata 'Wamaa waqqada' (tidak meninggalkan) dan 'wa maa qalaa' (tidak membenci) adalah penegasan cinta dan perhatian Allah yang abadi. Bagi seorang Muslim yang sedang menghadapi cobaan, ini adalah pengingat bahwa rasa sepi atau terabaikan hanyalah persepsi sesaat; koneksi spiritual dengan Sang Pencipta tidak pernah terputus.
Ayat selanjutnya membawa harapan tentang masa depan. Allah menjanjikan bahwa akhir (akhirat) akan jauh lebih baik daripada permulaan (dunia). Meskipun Nabi sedang melalui kesulitan dakwah di awal kenabian, janji kemenangan dan kedudukan mulia di akhirat adalah kepastian yang harus dipegang teguh. Pemahaman bahwa surah Ad Dhuha bermakna sebagai janji keniscayaan adalah sumber kekuatan terbesar.
Janji ini juga berlaku universal bagi seluruh umat. Setiap kesulitan yang kita hadapi di dunia ini—entah itu kesulitan finansial, kegagalan, atau kesedihan—semuanya bersifat sementara. Imbalan kesabaran dan keteguhan iman di dunia ini akan jauh terlampaui oleh kemuliaan yang disiapkan Allah di akhirat kelak.
Setelah memberikan penghiburan dan janji, surah Ad Dhuha kemudian mengarahkan umat untuk merespons anugerah tersebut dengan tindakan nyata: rasa syukur dan amal kebajikan.
Berbicara tentang nikmat Tuhan bukan hanya sekadar lisan, tetapi juga diwujudkan melalui perbuatan. Ini termasuk menceritakan kebaikan Allah kepada orang lain, bersedekah, membantu anak yatim (seperti yang disebutkan dalam ayat sebelumnya tentang perlakuan Nabi ketika beliau yatim), dan menggunakan segala kelebihan yang dimiliki untuk kebaikan. Ketika seseorang menyadari betapa besarnya rahmat Allah yang datang setelah badai, secara alami ia akan terdorong untuk lebih dermawan dan bersyukur.
Secara ringkas, surah Ad Dhuha bermakna tiga hal utama:
Surah ini adalah sumber ketenangan abadi. Ketika dunia terasa gelap dan harapan menipis, membaca dan merenungi Surah Ad Dhuha seolah mendengar bisikan lembut dari langit yang menegaskan: "Tahanlah sebentar lagi, sebab fajar kenikmatan telah tiba, dan Aku bersamamu."