Suksom Merapi adalah istilah yang sering diucapkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kata "Suksom" sendiri, dalam konteks lokal, seringkali merujuk pada kemakmuran, keberuntungan, atau rezeki yang melimpah yang dipercaya berasal dari anugerah gunung tersebut. Meskipun Merapi dikenal sebagai salah satu gunung berapi paling aktif di dunia, ironisnya, tanah di sekitarnya justru sangat subur, menciptakan paradoks alam yang membentuk cara hidup masyarakatnya.
Ilustrasi Gunung Merapi dan Kesuburan Tanah
Tinggal di kawasan rawan bencana bukanlah pilihan tanpa perhitungan. Masyarakat lereng Merapi telah mengembangkan kearifan lokal yang luar biasa dalam beradaptasi dengan ancaman erupsi. Mereka memahami bahwa bahaya dan berkah berjalan beriringan. Tanah vulkanik yang kaya mineral memastikan hasil panen pertanian melimpah, mulai dari sayuran, buah-buahan, hingga komoditas ekspor seperti tembakau dan kopi. Inilah esensi dari Suksom Merapi; menerima tantangan demi menikmati hasil alam yang tak tertandingi.
Ketika Merapi menunjukkan gelora, respons masyarakat bukan hanya berupa kepanikan, tetapi juga tindakan adaptif yang terstruktur. Proses evakuasi, misalnya, seringkali didahului oleh ritual adat atau komunikasi non-verbal dari juru kunci gunungāsebuah manifestasi dari keterikatan spiritual dan pragmatis mereka terhadap alam. Mereka tidak menganggap gunung sebagai musuh, melainkan sebagai entitas yang harus dihormati.
Sistem peringatan dini berbasis komunitas bekerja sangat efektif. Tetangga saling menjaga, dan pengetahuan mengenai jalur evakuasi sudah mendarah daging. Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan sosial menjadi benteng pertahanan pertama sebelum bantuan eksternal datang. Kepercayaan pada konsep "Suksom" ini justru memperkuat semangat gotong royong, karena mereka percaya bahwa selama mereka hidup selaras dengan alam, rezeki (suksom) akan terus mengalir.
Kesuburan tanah membawa dampak ekonomi signifikan. Daerah-daerah seperti Kaliurang atau Selo menjadi pusat pertanian sekaligus pariwisata alam. Material vulkanik bekas letusan, seperti pasir dan batu andesit, juga menjadi komoditas berharga yang menopang industri konstruksi lokal selama periode tenang gunung. Siklus destruksi dan konstruksi ulang ini adalah irama kehidupan di kaki Merapi.
Mengelola siklus ini memerlukan keseimbangan. Pengambilan material harus dilakukan dengan bijaksana agar tidak mengganggu struktur lereng gunung, sementara kegiatan pertanian harus mempertimbangkan batas aman zona rawan. Generasi muda kini mulai mengintegrasikan teknologi modern dengan kearifan leluhur, misalnya menggunakan sensor sederhana bersamaan dengan praktik pertanian tradisional.
Lebih dari sekadar sumber daya alam, Merapi adalah entitas budaya yang sakral. Kisah-kisah tentang Mbah Maridjan, penjaga spiritual gunung, merefleksikan hubungan mendalam antara manusia dan lingkungan supranatural. Bagi banyak orang, Suksom Merapi bukan hanya tentang hasil panen hari ini, tetapi juga tentang menjaga harmoni agar gunung tetap 'bersahabat'. Ketika gunung "tenang," itu adalah tanda restu yang memungkinkan kemakmuran fisik terwujud.
Pada akhirnya, kisah Suksom Merapi adalah narasi tentang resiliensi. Ia mengajarkan bahwa hidup di dekat kekuatan alam yang dahsyat tidak berarti hidup dalam ketakutan permanen, melainkan hidup dalam penghormatan yang mendalam. Mereka yang tinggal di sana telah membuktikan bahwa dengan kearifan dan kerja keras, ancaman dapat diubah menjadi berkat, dan teror erupsi bisa berdampingan dengan kemakmuran yang nyata. Inilah yang membuat kehidupan di lereng Merapi menjadi unik dan patut diapresiasi.