Panduan Lengkap Seputar Peninjauan Kembali (PK) Pidana

Hukum PK Aspek Legalitas dan Keadilan

Visualisasi proses tinjauan hukum dalam konteks peradilan.

Peninjauan Kembali, atau yang lebih populer dikenal sebagai PK dalam konteks hukum pidana di Indonesia, merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang disediakan oleh sistem peradilan. PK bukan sekadar banding atau kasasi biasa, melainkan mekanisme koreksi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) apabila ditemukan syarat-syarat tertentu yang sangat spesifik dan ketat. Memahami seluk-beluk PK pidana sangat penting bagi mereka yang terlibat dalam proses hukum, baik sebagai terpidana, korban, maupun praktisi hukum.

Apa Itu Peninjauan Kembali (PK) Pidana?

Secara yuridis, Peninjauan Kembali diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). PK diajukan ke Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia. Tujuan utama PK adalah untuk mencegah terjadinya ketidakadilan yang nyata atau kekeliruan penerapan hukum pada suatu putusan yang ironisnya sudah final. Karena sifatnya yang luar biasa, dasar pengajuan PK sangat terbatas dan tidak terbuka untuk pemeriksaan ulang fakta-fakta persidangan seperti halnya banding atau kasasi.

Syarat dan Dasar Hukum Pengajuan PK

Pengajuan PK dalam perkara pidana tidak bisa dilakukan hanya karena ketidakpuasan terhadap isi putusan. Harus ada novum atau alasan baru yang kuat. KUHAP menetapkan syarat-syarat tegas kapan PK dapat diajukan. Berikut adalah poin-poin utama yang menjadi dasar pengajuan PK pidana:

Prosedur dan Pihak yang Berhak Mengajukan

Hanya pihak-pihak tertentu yang memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali. Pihak yang berhak mengajukan PK adalah terpidana atau jaksa penuntut umum (atau kuasa hukumnya). Jika terpidana meninggal dunia, permohonan PK dapat diajukan oleh ahli warisnya yang berkaitan dengan gugatan perdata yang timbul dari putusan pidana tersebut, meskipun dalam praktiknya PK pidana seringkali terhenti jika terpidana meninggal.

Prosedur pengajuan dilakukan melalui pengadilan tingkat pertama yang mengadili perkara tersebut pada tingkat pertama. Setelah berkas lengkap, pengadilan tingkat pertama meneruskan berkas kepada Mahkamah Agung. Perlu dicatat, pengajuan PK secara umum tidak menangguhkan pelaksanaan putusan pidana (terpidana tetap harus menjalani hukuman), kecuali hakim yang memeriksa PK memberikan penetapan khusus untuk menunda eksekusi. Hal ini menekankan betapa serius dan luar biasanya upaya hukum ini.

Implikasi dan Keputusan Mahkamah Agung

Ketika Mahkamah Agung memeriksa berkas PK, fokus utama mereka adalah pada aspek novum atau kekhilafan nyata yang diajukan, bukan mengulang pemeriksaan fakta dari awal. MA memiliki tiga kemungkinan keputusan terkait PK pidana:

  1. Menolak Permohonan PK: Jika dalil yang diajukan dianggap tidak memenuhi syarat atau tidak terbukti kebenarannya, maka putusan yang sudah ada tetap berlaku.
  2. Mengabulkan PK dan Membatalkan Putusan: Jika novum atau kekhilafan terbukti benar dan mengarah pada kesimpulan bahwa putusan yang ada tidak adil, MA dapat membatalkan putusan tersebut.
  3. Mengabulkan PK dan Mengubah Putusan: MA dapat mengubah jenis atau beratnya pidana jika ditemukan dasar hukum yang kuat untuk itu, namun jarang sekali MA mengubah status terpidana menjadi bebas murni kecuali novum sangat ekstrem.

Sifat upaya hukum PK yang ketat ini bertujuan untuk menjaga kepastian hukum (asas ne bis in idem) sekaligus memastikan keadilan substansial dapat ditegakkan. Oleh karena itu, setiap permohonan PK harus didukung dengan argumen hukum dan bukti baru yang sangat solid dan relevan. PK adalah garis pertahanan terakhir dalam proses peradilan pidana formal.

🏠 Homepage