Intisari Ketuhanan: Membedah Quran Surat Al Fatihah Ayat 4

Visualisasi konsep kepemilikan dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam Al-Qur'an Mālik Yawm ad-Dīn (Penguasa Hari Pembalasan)

Surat Al-Fatihah, yang berarti "Pembukaan," adalah jantung dari shalat umat Islam. Ia terdiri dari tujuh ayat pendek namun padat makna, berfungsi sebagai fondasi spiritual dan pengakuan universal atas sifat sejati Tuhan. Setiap ayat membawa lapisan pemahaman yang mendalam, dan ayat keempat, yakni Quran surat Al Fatihah ayat 4, menempati posisi krusial dalam penegasan otoritas ilahi.

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

(Mālik Yawm ad-Dīn)

“Pemilik hari Pembalasan.”

Penguasa Mutlak Hari Kiamat

Ayat ini secara harfiah menerjemahkan pengakuan bahwa Allah adalah Mālik (Raja, Pemilik, Penguasa) atas Yawm ad-Dīn (Hari Pembalasan atau Hari Penghakiman). Jika ayat ketiga menekankan keesaan Allah dalam penyembahan (Ar-Rahman, Ar-Rahim), maka ayat keempat menegaskan konsekuensi dari keesaan tersebut—yaitu pertanggungjawaban mutlak di akhirat.

Penggunaan kata Mālik sangat signifikan. Dalam bahasa Arab, kata ini merujuk pada pemilik yang memiliki kekuasaan penuh dan tidak terbatas atas sesuatu. Ini berbeda dengan kata Rabb (Tuhan/Pemelihara) atau bahkan kata Malik (Raja/Penguasa) yang mungkin masih menyisakan ruang bagi intervensi atau penentangan. Mālik menyiratkan kepemilikan absolut. Di dunia ini, banyak raja yang kekuasaannya dibatasi oleh hukum, politik, atau kekuatan militer. Namun, pada Hari Pembalasan, tidak ada lagi hukum selain hukum-Nya, tidak ada lagi kekuatan selain kekuatan-Nya.

Kontras antara Dunia dan Akhirat

Sangat menarik untuk dicatat bahwa sebelum mencapai ayat ini, seorang Muslim telah memuji Allah sebagai Tuhan Semesta Alam (ayat 2) dan telah mengakui kasih sayang-Nya yang luas (ayat 3). Namun, ketika tiba pada Quran surat Al Fatihah ayat 4, nada pujian tersebut bergeser menjadi pengakuan akan keadilan yang akan ditegakkan.

Di dunia (duniawi), kita sering kali melihat ketidakadilan merajalela; orang baik menderita, sementara orang jahat menikmati kemewahan. Namun, Al-Fatihah mengingatkan kita bahwa ada sebuah hari di mana semua ketidakseimbangan itu akan diluruskan. Allah adalah Mālik Yawm ad-Dīn; Dia tidak hanya mengatur hari itu, tetapi Dia adalah satu-satunya pemilik otoritas penuh untuk memutuskan nasib setiap makhluk. Ini memberikan harapan bagi yang tertindas dan peringatan keras bagi yang zalim.

Perbedaan Bacaan: Mālik vs. Maliki

Perlu diketahui bahwa dalam beberapa riwayat qira'at (cara membaca Al-Qur'an), ayat ini dibaca dengan dua cara utama: Mālik (dengan mad/panjang) atau Maliki (dengan pendek).

Mayoritas umat Islam mengikuti qira'at Hafs 'an 'Ashim yang membaca Mālik. Kedua bacaan ini, bagaimanapun, memiliki esensi yang sama: menegaskan bahwa hanya Allah yang berhak menentukan apa yang terjadi pada Hari Pembalasan. Tidak ada tawar-menawar, tidak ada intervensi dari pihak lain pada hari itu.

Implikasi Spiritual Ayat Keempat

Mengucapkan Quran surat Al Fatihah ayat 4 dalam shalat harus memicu introspeksi mendalam. Ini berarti kita harus menjalani hidup di dunia ini dengan kesadaran bahwa setiap tindakan, ucapan, dan niat sedang dicatat oleh Sang Mālik. Motivasi untuk berbuat baik meningkat ketika kita mengingat bahwa ada hari di mana semua amal akan ditimbang secara adil. Sebaliknya, peringatan ini menjadi rem bagi dorongan untuk melakukan kemaksiatan, karena tahu bahwa 'Penguasa Hari Itu' pasti akan meminta pertanggungjawaban.

Ayat ini juga memperkuat ketergantungan kita kepada Allah semata. Di hari yang paling menentukan dalam eksistensi kita—saat keputusan akhir dibuat—hanya Dia yang memiliki kendali. Ini memurnikan niat dalam ibadah, menjauhkan kita dari keinginan untuk mencari pujian manusia (karena di Hari Pembalasan, pujian manusia tidak berarti apa-apa), dan mengarahkan segala harapan hanya kepada rahmat dan keadilan-Nya. Memahami Mālik Yawm ad-Dīn adalah kunci untuk menjalani kehidupan yang berorientasi akhirat, yang merupakan inti ajaran Islam.

🏠 Homepage