Surah Al-Kahfi adalah salah satu surah yang sangat dianjurkan untuk dibaca, terutama pada hari Jumat. Di dalamnya terdapat kisah-kisah penuh hikmah, termasuk peringatan penting mengenai hakikat dunia dan akhirat. Salah satu ayat kunci yang memuat perbandingan nilai antara kekayaan materi dan amal saleh adalah QS. Al-Kahfi ayat 47. Ayat ini memberikan perspektif tegas mengenai apa yang sejatinya akan membawa manfaat ketika semua kemewahan duniawi telah lenyap.
Ayat 46 Al-Kahfi dengan jelas menetapkan status harta (al-maal) dan keturunan (al-banoon). Keduanya adalah zinah, yaitu perhiasan atau pemanis kehidupan dunia. Ini bukan berarti harta dan anak adalah hal yang tercela secara mutlak. Dalam Islam, keduanya adalah nikmat dan amanah yang harus disyukuri dan dikelola dengan baik. Namun, status "perhiasan dunia" mengisyaratkan bahwa nilainya terbatas pada batas waktu kehidupan di muka bumi ini.
Ketika seseorang fokus berlebihan pada akumulasi harta dan membanggakan banyaknya keturunan tanpa mengaitkannya dengan tujuan akhirat, maka perhiasan ini berubah menjadi sumber kesibukan yang melalaikan. Dunia menawarkan keindahan sesaat, namun keindahan itu fana. Begitu ajal menjemput, harta benda tidak bisa dibawa, dan keturunan—meskipun menjadi penerus doa—tidak dapat menggantikan amal perbuatan individu itu sendiri.
Kontras langsung ditunjukkan oleh Allah SWT dengan memperkenalkan konsep "Al-Baqiyatush Shalihah" (amal-amal yang kekal lagi saleh). Inilah inti pelajaran dari qs al kahfi ayat 47 dan ayat sebelumnya. Apa sajakah yang termasuk amal shalih yang kekal? Ini meliputi:
Ayat ini menegaskan bahwa amalan-amalan ini "khairun 'inda Rabbika" (lebih baik di sisi Tuhanmu) dan "khairun amalaa" (lebih baik sebagai harapan). Di hadapan Allah, timbangan amal jauh lebih berat nilainya daripada tumpukan emas atau sanjungan dari anak cucu. Harapan sejati seorang Muslim bukanlah hidup mewah di dunia, melainkan memiliki bekal yang mencukupi untuk menghadapi pertanggungjawaban di akhirat.
Mengapa perbandingan ini sangat ditekankan? Karena ayat 47 (yang juga merupakan bagian dari narasi penekanan akhirat) menggambarkan totalitas kehancuran dunia. Ketika gunung-gunung digerakkan dan bumi diratakan (menjadi barizah/datar)**, semua struktur dunia—termasuk istana megah yang dibangun dengan harta dunia, dan pengaruh yang dibangun dari keturunan—akan runtuh dan menjadi sama rata. Dalam situasi ekstrem tersebut, tidak ada lagi yang bisa diandalkan kecuali catatan amal yang telah dikumpulkan selama hidup.
Pemahaman atas qs al kahfi ayat 47 dan ayat 46 mendorong seorang mukmin untuk senantiasa menjaga prioritas. Harta dan keluarga harus dicintai, namun tidak boleh menjadi prioritas utama yang mengalahkan ketaatan kepada Sang Pencipta. Kehidupan dunia adalah ujian singkat, sementara tujuan kita adalah negeri yang kekal, yang hanya dapat diraih melalui bekal amal saleh yang kita tanamkan hari ini. Jangan sampai kita tertipu oleh perhiasan yang akan segera hilang, sementara investasi abadi terabaikan.