Surat Al-Kahfi (Gua) adalah surat yang sarat dengan pelajaran penting mengenai ujian-ujian kehidupan, mulai dari kisah Ashabul Kahfi, pemilik dua kebun, hingga godaan Dajjal. Di antara ayat-ayat penting tersebut, ayat ke-54 memiliki posisi krusial dalam mengingatkan kita tentang hakikat harta duniawi.
Ayat ini secara ringkas namun padat, menjelaskan bagaimana dunia mempermainkan manusia dengan iming-iming kemewahan.
Meskipun ayat 54 secara tekstual membahas perumpamaan yang diberikan Allah dalam Al-Qur'an dan kecenderungan manusia untuk membantah, secara kontekstual (bersambung dengan ayat 45-48), ayat-ayat ini secara keseluruhan membangun narasi tentang perbandingan antara kemewahan yang fana dan amal saleh yang abadi. Ayat 54 berfungsi sebagai penutup narasi perumpamaan tersebut, menekankan bahwa manusia seringkali lebih tertarik pada hal-hal yang tampak di permukaan daripada kebenaran yang disampaikan.
Dalam konteks Al-Kahfi, Allah sering menggunakan perumpamaan pemilik kebun yang sombong. Harta benda, kekuasaan, dan kemegahan duniawi sejatinya hanyalah perumpamaan. Mereka terlihat indah dan memberikan rasa aman sesaat, namun hakikatnya rapuh dan sementara. Ayat-ayat yang mendahului ayat 54 menggambarkan bagaimana pemilik kebun tersebut sangat bangga dengan tanamannya, melupakan sumber segala karunia tersebut, yaitu Allah SWT.
Hal ini mengajarkan kita bahwa ketika kita terlalu larut dalam kesibukan mengumpulkan harta atau mengejar pujian dunia, kita sedang mengikuti sebuah perumpamaan yang menyesatkan. Kita menjadi seperti orang yang sibuk menyiram tanaman yang besok bisa musnah karena bencana alam, sambil melupakan investasi akhirat yang kekal.
Ayat 54 secara eksplisit menyoroti sifat dasar manusia, yaitu kecenderungan untuk membantah kebenaran yang dibawa oleh para rasul. Bantahan ini seringkali muncul ketika kebenaran tersebut menuntut pengorbanan, misalnya, meninggalkan kemaksiatan atau menginfakkan harta yang selama ini diagungkan.
Mengapa manusia membantah? Karena dunia telah memberikan mereka ilusi kekuasaan dan keabadian. Ketika Al-Qur'an datang dengan peringatan bahwa semua itu akan sirna, sifat egois dan cinta duniawi mendorong mereka untuk menolak atau mencari celah untuk membantah validitas peringatan tersebut. Mereka memilih logika hawa nafsu daripada logika wahyu.
Di era modern ini, godaan dunia semakin masif. Media sosial, konsumerisme, dan persaingan materi menjadi bentuk baru dari "kebun yang subur" yang disebutkan dalam Al-Kahfi. Kita mudah terlena dengan statistik kekayaan atau popularitas sesaat, dan lupa bahwa semua itu adalah ujian.
QS Al-Kahfi 54, dalam hubungannya dengan konteksnya, mengingatkan kita untuk selalu waspada terhadap perangkap perumpamaan dunia. Ketika kita melihat kesuksesan materi yang berlebihan, kita harus mengingat bahwa itu hanyalah perumpamaan. Tugas kita bukanlah mengagumi perumpamaan tersebut, melainkan memastikan bahwa kita tidak menjadi orang yang membantah seruan Allah demi mempertahankan perumpamaan fana tersebut.
Oleh karena itu, merenungkan ayat ini adalah cara untuk membersihkan hati dari obsesi duniawi. Kita diingatkan bahwa Allah telah memberikan perumpamaan yang jelas (baik melalui kisah atau ayat-ayat-Nya), dan yang tersisa adalah tanggung jawab kita untuk menerima dan bertindak sesuai dengan petunjuk-Nya, bukan malah membantah demi kenyamanan sesaat.
Kejernihan hati hanya dapat dicapai ketika kita memandang harta dan kemuliaan dunia sebagaimana adanya: alat dan ujian, bukan tujuan akhir. Al-Kahfi adalah petunjuk bagi mereka yang mencari cahaya di tengah kegelapan fitnah dunia.