Surat Al-Ikhlas, yang sering disebut sebagai 'sepertiga Al-Qur'an' karena kemurnian akidah yang terkandung di dalamnya, adalah fondasi utama pemahaman kita tentang hakikat Allah SWT. Setelah menegaskan keesaan Allah (Ahad) pada ayat pertama, ayat kedua membawa kita pada pemahaman mendalam tentang sifat kekuasaan dan kemandirian-Nya. Ayat tersebut berbunyi:
Kata "Ash-Shamad" (الصَّمَدُ) adalah salah satu nama terindah dan paling komprehensif dalam Asmaul Husna. Para ulama tafsir memberikan beberapa penafsiran yang saling melengkapi, namun intinya mengerucut pada satu makna sentral: Allah adalah Zat yang mutlak mandiri, tidak bergantung kepada siapa pun, sementara segala sesuatu selain Dia mutlak membutuhkan-Nya.
Salah satu makna klasik yang paling sering dikutip dari Ibn Abbas adalah bahwa Ash-Shamad adalah Zat yang padat, kokoh, dan tidak berongga. Ini secara metaforis menunjukkan kesempurnaan dan kekuatan-Nya yang tidak ada cacat atau kekurangan sedikit pun. Jika sesuatu itu padat, ia berarti kuat dan tidak rapuh. Inilah sifat Allah; keagungan-Nya padat dan kokoh, tidak terpengaruh oleh ketiadaan atau kekurangan.
Makna kedua yang lebih aplikatif dalam kehidupan kita adalah bahwa Ash-Shamad berarti Zat yang menjadi tujuan akhir segala kebutuhan. Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa Dia adalah sumber pemenuhan kebutuhan bagi seluruh alam semesta. Bayangkan lautan, ia membutuhkan curahan hujan. Bayangkan tanaman, ia membutuhkan sinar matahari. Bayangkan manusia, ia membutuhkan rezeki, kesehatan, dan petunjuk.
Semua yang kita lihat—mulai dari benda mati hingga makhluk hidup yang paling rumit—berjalan dalam kerangka ketergantungan total kepada Allah. Tidak ada satu pun makhluk yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri secara permanen. Ketergantungan ini bersifat absolut. Jika Allah menarik sedikit saja karunia-Nya, maka keteraturan alam semesta akan goyah.
Oleh karena itu, memahami bahwa Allah adalah Ash-Shamad membawa implikasi besar bagi cara kita beribadah dan memandang dunia. Kita tidak boleh mencari pemenuhan sejati dari selain-Nya. Jika kita mencari ketenangan pada harta, harta itu bisa hilang. Jika kita mencari keamanan pada kekuasaan, kekuasaan itu bisa direnggut. Hanya kepada Ash-Shamad segala permohonan harus diarahkan.
Pemahaman yang benar mengenai QS Al-Ikhlas ayat 2 mendorong seorang mukmin untuk memiliki sifat tawakkul (berserah diri) yang sempurna. Ketika kita benar-benar yakin bahwa hanya Allah yang Maha Pemenuh, maka rasa takut dan ketergantungan kita kepada manusia akan berkurang drastis.
Ayat ini mengajarkan kita untuk berani dalam mengambil keputusan yang sesuai syariat, karena kita tahu bahwa hasil akhir ada di tangan Ash-Shamad. Ia menumbuhkan keberanian moral; kita tidak perlu gentar menghadapi kesulitan duniawi karena kita tahu bahwa sumber pertolongan adalah Zat yang kekuatannya tidak pernah habis dan kemurahan-Nya tidak pernah putus.
Selain itu, sifat Ash-Shamad juga berarti Allah tidak memiliki anak dan tidak diperanakkan. Jika Allah punya anak, maka Dia membutuhkan bantuan atau warisan, yang bertentangan dengan sifat kemandirian-Nya. Jika Dia diperanakkan, berarti Dia memiliki orang tua yang melahirkannya, yang menempatkan-Nya dalam rantai ketergantungan. Oleh karena itu, kemandirian absolut Allah (Ash-Shamad) secara otomatis menafikan sifat-sifat makhluk yang membutuhkan generasi penerus.
QS Al-Ikhlas ayat 2 berdiri sebagai penegasan yang indah melengkapi ayat pertama ("Qul Huwallahu Ahad"). Ayat pertama menegaskan bahwa Allah itu Tunggal, dan ayat kedua menjelaskan konsekuensi dari Ketunggalan tersebut: yaitu keunikan-Nya sebagai tujuan akhir ketergantungan segala sesuatu. Dua ayat ini saling menguatkan, membentuk benteng akidah yang kokoh, membersihkan hati dari segala bentuk kesyirikan, baik syirik besar maupun syirik kecil dalam bentuk ketergantungan hati kepada selain Allah.
Dengan merenungkan bahwa Allah adalah Ash-Shamad, seorang hamba akan menyadari betapa kecilnya dirinya di hadapan Keagungan-Nya, sekaligus betapa berharganya dirinya karena diperkenankan untuk bergantung kepada Sumber segala kebaikan. Pemahaman ini membebaskan jiwa dari belenggu kekhawatiran duniawi dan mengarahkannya pada orientasi akhirat yang sejati.