Surah Al-Ikhlas adalah salah satu permata dalam Al-Qur'an. Ia sering disebut sebagai 'sepertiga Al-Qur'an' karena secara ringkas namun padat memuat esensi ajaran tauhid, yakni mengesakan Allah SWT. Keempat ayatnya berdiri sendiri sebagai pernyataan tegas mengenai keesaan dan kesempurnaan Pencipta semesta alam. Setelah tiga ayat pertama menjelaskan tentang keunikan, ketunggalan, dan keabadian Allah, ayat keempat menjadi penutup yang sempurna, menegaskan bahwa tidak ada satu pun yang setara dengan-Nya.
QS Al-Ikhlas Ayat 4 berbunyi: لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (Lam yalid walam yūlad).
"(Allah) tidak beranak dan tiada (pula) yang diperanakkan."
Ayat keempat ini merupakan penolakan tegas terhadap segala bentuk penyekutuan atau penyamaan Allah dengan makhluk ciptaan-Nya, baik dalam hal asal-usul maupun hasil. Dalam konteks sejarah turunnya surah ini, ayat ini secara spesifik menjawab pertanyaan kaum musyrikin Mekkah, Yahudi, dan Nasrani mengenai nasab atau keturunan Allah.
Frasa "Lam yalid" (Tidak beranak) menegaskan bahwa Allah Maha Suci dari memiliki keturunan. Konsep beranak mensyaratkan adanya proses biologis, kebutuhan akan pasangan, dan adanya permulaan bagi yang dilahirkan. Semua hal ini bertentangan mutlak dengan sifat-sifat Allah yang Maha Kekal, Maha Esa, dan Maha Sempurna (Al-Ahad dan Ash-Shamad).
Jika Allah beranak, maka yang dilahirkan itu pasti akan menjadi penerus atau memiliki sifat yang sama dengan-Nya, namun pada saat yang sama, anak tersebut pasti memiliki permulaan wujud, yang berarti Allah juga memiliki permulaan atau ada titik waktu di mana Allah tidak memiliki anak tersebut, hal ini melemahkan keabadian-Nya. Oleh karena itu, penafian ini adalah pengukuhan atas keagungan Allah yang tidak terikat oleh hukum sebab akibat temporal yang berlaku di alam semesta.
Lanjutan ayat, "walam yūlad" (dan tiada (pula) yang diperanakkan), menegaskan sisi sebaliknya. Allah bukan hasil dari proses penciptaan atau kelahiran. Jika Allah dilahirkan, berarti ada yang menciptakan-Nya, dan yang menciptakan-Nya itu tentu lebih dahulu dan lebih tinggi kedudukannya daripada Allah. Ini akan menggugurkan konsep tauhid sepenuhnya dan mengarahkan pada rantai pencipta yang tak berujung.
Ini adalah sanggahan terhadap keyakinan seperti konsep Trinitas dalam beberapa paham, di mana Isa 'Alaihissalam dianggap sebagai anak Allah. Islam mengajarkan bahwa Nabi Isa adalah hamba dan Rasul Allah, lahir tanpa ayah (mukjizat), tetapi ia tetaplah makhluk, bukan Ilah.
Ayat ini secara kolektif membersihkan konsep ketuhanan dari segala atribut makhluk, termasuk atribut kekerabatan, kebutuhan akan regenerasi, atau keterbatasan ruang dan waktu. Allah adalah Dzat yang mandiri, tidak membutuhkan kelanjutan garis keturunan untuk keabadian-Nya.
Untuk merefleksikan kemurnian tauhid yang ditekankan dalam ayat ini, bayangkan sebuah entitas yang berdiri sendiri tanpa bayangan atau pendukung. SVG di bawah ini mencoba merepresentasikan keunikan dan kemandirian absolut ini.
Memahami dan mengimani QS Al-Ikhlas ayat 4 memiliki implikasi mendalam bagi seorang Muslim. Pertama, ia mengajarkan kerendahan hati. Jika Allah tidak memiliki anak, maka tidak ada makhluk yang berhak diagungkan setara dengan-Nya, apalagi menuntut hak ilahi. Semua bentuk pemujaan harus dikembalikan hanya kepada Sang Pencipta.
Kedua, ini memperkuat paradigma bahwa Allah adalah sumber segala sesuatu, tetapi Dia sendiri tidak bersumber dari siapapun. Hal ini menghilangkan ruang bagi takhayul bahwa kekuatan atau keberkahan diturunkan dari entitas 'anak' atau 'keturunan' dewa-dewi. Setiap pertolongan datang langsung dari Dzat Yang Maha Agung.
Oleh karena itu, ketika kita membaca surah Al-Ikhlas, terutama ayat keempat ini, kita sedang menegaskan kembali sumpah setia kita kepada Allah: bahwa Dia adalah entitas yang unik, mutlak, dan tidak terikat oleh batasan-batasan makhluk ciptaan-Nya. Inilah pondasi terkuat dalam Islam, yang membedakan ibadah yang benar dari segala bentuk kekeliruan akidah.
Konsistensi dalam memahami dan mengamalkan tauhid yang termaktub dalam Al-Ikhlas, mulai dari sifat keesaan-Nya hingga penolakan tegas terhadap konsep kelahiran atau diperanakkan-Nya, memastikan bahwa seluruh ibadah kita terarah pada Sumber segala keberadaan yang tidak pernah berawal dan tidak akan pernah berakhir.