Ilustrasi: Pagi yang cerah setelah kegelapan.
Surat Adh-Dhuha, yang berarti "Waktu Duha" atau "Pagi Hari", adalah salah satu surat penenang hati yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW pada masa-masa sulit. Ayat ketiga, "مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ" (Maa wadda'aka Rabbuka wa maa qalaa), merupakan inti dari pesan penghiburan tersebut. Ayat ini turun sebagai respons atas jeda wahyu yang sempat dialami Nabi Muhammad SAW, sebuah periode yang membuat beliau merasa khawatir dan gelisah, seolah-olah Allah SWT telah berpaling darinya.
Ketika wahyu berhenti turun selama beberapa waktu, Rasulullah SAW merasa sangat sedih. Keraguan dan bisikan syaitan mulai menyelinap masuk, membuat beliau bertanya-tanya apakah beliau telah melakukan kesalahan atau apakah Allah telah meninggalkannya. Dalam situasi psikologis yang sangat rentan inilah, Allah SWT menurunkan Surat Adh-Dhuha untuk menegaskan kembali hubungan kekal antara Pencipta dan hamba-Nya yang terpilih.
Fokus utama ayat ketiga adalah penegasan yang sangat kuat dan definitif: "Tuhanmu tidak meninggalkanmu (wadda'aka) dan tidak (pula) benci (qalaa)." Kata "wadda'aka" berasal dari kata dasar "wada'a" yang berarti meninggalkan atau menelantarkan. Allah SWT secara tegas menolak kemungkinan itu. Tidak ada celah bagi keraguan bahwa Allah SWT akan pernah meninggalkan Rasul-Nya dalam kondisi terburuk sekalipun.
Sementara itu, kata "qalaa" berarti membenci atau memutus hubungan dengan rasa jijik. Penegasan bahwa Allah tidak membenci Rasul-Nya adalah penyejuk hati yang luar biasa. Hal ini menunjukkan bahwa kesulitan atau jeda yang dialami bukanlah karena kemurkaan ilahi, melainkan bagian dari rencana yang lebih besar—sebuah ujian kesabaran dan peningkatan derajat.
Makna QS Adh-Dhuha ayat 3 meluas jauh melampaui konteks sejarah Nabi Muhammad SAW. Ayat ini menjadi jaminan universal bagi setiap mukmin yang menghadapi masa-masa kegelapan, kekecewaan, atau perasaan terisolasi.
Setiap mukmin yang rajin beribadah namun tiba-tiba merasa jauh dari ketenangan batin, atau mereka yang terus berjuang dalam kesulitan hidup, perlu mengingat ayat ini. Jeda dalam doa, kegagalan dalam usaha, atau rasa sepi bukanlah indikasi bahwa Allah telah berpaling. Justru sebaliknya, kesulitan tersebut sering kali menjadi prelude (pendahuluan) bagi kemudahan dan anugerah yang akan datang, sebagaimana dijanjikan dalam ayat-ayat selanjutnya.
Ketidakberpalingan Allah SWT ini memberikan fondasi kuat bagi optimisme dan keteguhan iman. Ketika kita merasa dunia meninggalkan kita, ayat ini mengingatkan bahwa ada Zat Yang Maha Kuasa yang senantiasa memelihara, menjaga, dan menyayangi kita tanpa syarat. Rasa khawatir bahwa amal kita sia-sia atau bahwa kita telah kehilangan kasih sayang Ilahi adalah ilusi yang harus segera diusir dengan mengingat penegasan tegas dalam Adh-Dhuha ayat 3.
Dalam konteks kehilangan atau keputusasaan, ayat ini mengajarkan kita untuk membedakan antara ujian duniawi dan hubungan spiritual kita dengan Allah. Allah mungkin mengizinkan kesulitan terjadi, tetapi Dia tidak pernah memutuskan tali kasih sayang-Nya. Jeda yang dirasakan sering kali berfungsi untuk melatih kesabaran (sabr) dan mendorong hamba-Nya untuk kembali lebih intens dalam mendekat kepada-Nya, bukan sebagai upaya untuk "meminta maaf" atas kesalahan, melainkan sebagai ekspresi kebutuhan mutlak kita akan kehadiran-Nya.
Ayat ini, bersama dengan ayat selanjutnya (bahwa yang kemudian itu lebih baik daripada yang terdahulu), adalah janji bahwa periode sulit yang kita alami saat ini hanyalah fase sementara. Kunci untuk melewatinya adalah meyakini bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan yang tidak pernah meninggalkan dan tidak pernah membenci hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya. Ini adalah penegasan tertinggi tentang Rahmat dan Pemeliharaan Ilahi yang tak terputus.