Peninjauan Kembali (PK) merupakan upaya hukum luar biasa yang diatur secara ketat dalam sistem peradilan di Indonesia. Dalam konteks yurisprudensi nasional, peran Mahkamah Agung (MA) sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi menjadi sentral dalam menerima dan memutus permohonan PK. Upaya hukum ini bukanlah upaya banding biasa; ia memiliki syarat dan ketentuan yang sangat spesifik, dirancang sebagai mekanisme koreksi terakhir terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht).
PK adalah hak yang diberikan kepada pihak yang merasa dirugikan oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baik dalam perkara perdata maupun pidana. Kedudukan PK yang istimewa ini tercermin dari alasan-alasan yang diperbolehkan untuk diajukannya. Jika upaya hukum biasa seperti banding dan kasasi berfokus pada pemeriksaan ulang kesalahan penerapan hukum atau fakta, PK berfokus pada ditemukannya novum (bukti baru yang menentukan) atau adanya kekhilafan hakim yang nyata dan fundamental.
Dalam hukum acara pidana, misalnya, PK hanya dapat diajukan apabila ada putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan terdapat keadaan tertentu yang sangat mendesak, seperti adanya putusan yang saling bertentangan dalam perkara serupa, atau adanya penemuan baru yang dapat membatalkan kesalahan terdakwa. Regulasi ketat ini bertujuan untuk menjaga kepastian hukum, menghindari kekacauan yurisprudensi, serta menghormati prinsip ne bis in idem (seseorang tidak dapat diadili dua kali atas perbuatan yang sama).
Proses pengajuan PK tidak dilakukan secara langsung kepada Majelis Hakim yang memutus perkara tersebut pada tingkat sebelumnya. Permohonan PK harus diajukan melalui pengadilan tingkat pertama tempat perkara semula diputus. Setelah permohonan didaftarkan, berkas akan dikirimkan ke Mahkamah Agung. Dalam sistem peradilan Indonesia, Mahkamah Agung memiliki wewenang diskresioner yang signifikan dalam memutuskan apakah permohonan PK akan diperiksa substansinya atau tidak, terutama dalam perkara perdata.
Khusus untuk perkara pidana, pembatasan pengajuan PK sangat ketat. Misalnya, dalam kasus pidana, satu perkara hanya boleh diajukan PK maksimal satu kali. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya lembaga peradilan memandang setiap permohonan PK. Jika syarat formal dan material terpenuhi, Mahkamah Agung akan menunjuk Majelis Hakim Agung yang akan memeriksa aspek-aspek yang diajukan oleh pemohon.
Dua alasan utama yang paling sering menjadi landasan permohonan PK adalah penemuan novum dan adanya kontradiksi putusan. Novum adalah bukti atau fakta baru yang sangat krusial dan apabila diketahui pada saat persidangan sebelumnya, hasilnya akan berbeda. Namun, pembuktian adanya novum sering kali menjadi tantangan terbesar bagi pemohon, sebab bukti tersebut harus benar-benar baru dan tidak mungkin ditemukan saat pemeriksaan sebelumnya.
Selain itu, adanya putusan Mahkamah Agung yang saling bertentangan mengenai kasus yang serupa (yurisprudensi yang tidak konsisten) juga dapat menjadi dasar kuat. Ketika MA menemukan adanya inkonsistensi dalam penerapan hukum yang dilakukan oleh hakim-hakim di tingkat di bawahnya, atau bahkan antar putusan MA itu sendiri, PK menjadi sarana untuk menegakkan kesatuan hukum. Keberhasilan sebuah permohonan PK sangat bergantung pada kemampuan pemohon untuk menyajikan argumen dan bukti yang benar-benar memenuhi standar ketat yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung.
Meskipun PK memberikan celah bagi keadilan korektif, penggunaannya yang berlebihan dapat mengancam prinsip kepastian hukum. Jika putusan yang sudah inkracht terus-menerus digugat dengan alasan yang kurang kuat, maka efisiensi peradilan akan terganggu. Oleh karena itu, MA selalu menekankan bahwa PK adalah jalan terakhir. Keberadaan PK di Mahkamah Agung berfungsi sebagai katup pengaman untuk mencegah kesalahan peradilan yang fundamental tidak berlarut-larut, namun tetap harus diterapkan dengan penuh kehati-hatian demi menjaga stabilitas hukum acara.