Ilustrasi Konsep Pilihan antara Jalan yang Benar dan Salah.
وَلَا تَقُولَنَّ لِشَاىْءٍ إِنِّى فَاعِلٌ ذَٰلِكَ غَدًا
إِلَّا أَن يَشَاءَ ٱللَّهُ ۚ وَٱذْكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَىٰٓ أَن يَهْدِيَنِ رَبِّى لِأَقْرَبَ مِنْ هَٰذَا رَشَدًا
Katakanlah (Muhammad): "Aku tidak akan pernah mengatakan tentang sesuatu, 'Saya pasti akan melakukan itu besok', Kecuali (dengan mengatakan): 'Insya Allah'. Dan ingatlah Tuhanmu ketika kamu lupa dan katakanlah: 'Semoga Tuhanku memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat dari ini dalam kebenaran (petunjuk jalan yang benar)'."
Ayat ke-29 dari Surat Al-Kahfi ini adalah salah satu ayat yang paling sering dikutip dalam konteks etika seorang Muslim dalam berbicara tentang masa depan. Inti dari ayat ini adalah sebuah larangan tegas dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad ﷺ—dan tentu saja, kepada seluruh umatnya—untuk menyatakan suatu rencana atau janji di masa depan tanpa menyertakan frasa sakral, "Insya Allah" (Jika Allah menghendaki).
Mengapa penekanan ini begitu kuat? Hal ini mengajarkan tentang hakikat kekuasaan mutlak yang dimiliki Allah. Manusia mungkin merencanakan, berusaha, dan menetapkan jadwal, namun pelaksanaannya sepenuhnya berada di bawah kehendak Ilahi. Mengklaim kepastian mutlak atas masa depan adalah bentuk kesombongan halus atau kelalaian terhadap keagungan Allah.
Dalam konteks turunnya ayat ini, ada riwayat yang menyebutkan bahwa kaum Quraisy pernah meminta Nabi ﷺ untuk menceritakan kisah-kisah umat terdahulu (seperti kisah Ashabul Kahfi), namun beliau menundanya hingga besok karena belum mendapatkan wahyu. Ketika esok harinya beliau belum mendapat wahyu dan ditanya kembali, beliau menjawab tanpa menyertakan "Insya Allah". Akibatnya, wahyu tertunda beberapa waktu lamanya, hingga turunlah ayat ini sebagai koreksi dan pengajaran.
Bagian kedua ayat ini memberikan solusi praktis sekaligus spiritual ketika kelupaan itu terjadi: "Dan ingatlah Tuhanmu ketika kamu lupa...".
Ayat ini mengakui bahwa sifat manusia adalah lupa. Tidak peduli seberapa saleh atau berhati-hati seseorang, kelupaan adalah keniscayaan. Ketika seseorang menyadari bahwa ia telah membuat janji tanpa menyebut "Insya Allah", atau ketika ia lupa akan kewajiban lainnya, langkah pemulihannya adalah segera mengingat Allah. Mengingat Allah di sini bisa berarti beristighfar, memuji-Nya, atau sekadar mengucapkan "Astaghfirullah" atas kelalaian tersebut.
Bagian penutup ayat ini mengajarkan kerendahan hati yang berkelanjutan: "...dan katakanlah: 'Semoga Tuhanku memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat dari ini dalam kebenaran (petunjuk jalan yang benar)'."
Ayat ini mengajarkan bahwa bahkan ketika kita sudah berusaha melakukan yang terbaik, kita harus selalu memohon agar Allah memberikan petunjuk yang lebih sempurna. Ini adalah pengakuan bahwa pandangan manusia terbatas, dan apa yang kita anggap sebagai "kebenaran" atau "jalan terbaik" saat ini mungkin belum mencapai puncak kesempurnaan rahmat dan petunjuk Allah.
Ini memberikan dua pelajaran penting: pertama, kita harus selalu berhati-hati dalam janji, dan kedua, kita harus selalu haus akan peningkatan dalam hidayah (petunjuk).
Penerapan Kahfi 29 melampaui sekadar urusan lisan. Ini membentuk cara pandang seorang Muslim terhadap kehidupan:
Secara keseluruhan, Kahfi ayat 29 adalah pilar dalam pembentukan karakter seorang mukmin yang sadar akan keterbatasan dirinya dan selalu bersandar penuh kepada kekuatan dan kehendak Yang Maha Kuasa, sambil senantiasa memohon agar setiap langkah yang diambil berada di jalan petunjuk yang paling benar.