Kisah Ashabul Kahfi, para pemuda yang tertidur di gua untuk menyelamatkan iman mereka, adalah narasi abadi tentang keteguhan hati di tengah gejolak zaman. Di jantung kisah ini, terdapat sebuah ayat krusial yang menjadi pedoman bagi setiap mukmin yang menghadapi tekanan, yaitu Surah Al-Kahfi ayat 28.
"Dan bersabarlah dirimu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu mengalihkan dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini, dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti keinginannya dan adalah keadaannya itu melewati batas."
Ayat 28 ini berfungsi sebagai instruksi langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW, namun relevansinya meluas kepada seluruh umat yang berjuang mempertahankan akidah di tengah godaan duniawi. Ayat ini memuat empat pilar utama yang membentuk karakter seorang pencari kebenaran.
Perintah pertama adalah ‘bersabarlah dirimu’ (وَاصْبِرْ نَفْسَكَ - wasbir nafsaka). Ini bukanlah kesabaran pasif, melainkan kesabaran yang aktif dan proaktif. Ini menuntut kita untuk sengaja memilih lingkungan spiritual yang mendukung. Para pemuda Kahfi memilih menyendiri di gua daripada bergaul dengan masyarakat yang menyembah berhala. Ayat ini mengajarkan bahwa kesabaran seringkali berarti memilih komunitas yang secara konsisten mengingat Allah (الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي - adzdzina yad'uuna Rabbahum bil ghadati wal 'ashiy).
Duduk bersama mereka yang tekun beribadah, yang tadarus Al-Qur'an di pagi hari dan berzikir di petang hari, adalah bentuk kesabaran yang diperintahkan. Interaksi positif ini memperkuat iman dan menahan jiwa dari kelelahan spiritual.
Bagian kedua adalah larangan keras untuk menukar prioritas spiritual demi keuntungan materi: "dan janganlah kedua matamu mengalihkan dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini" (وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا). Dalam konteks Ashabul Kahfi, ini bisa diartikan sebagai godaan untuk kembali kepada kemewahan atau kenyamanan hidup di bawah rezim tiran, asalkan mereka berpura-pura ikut menyembah patung. Bagi kita hari ini, godaan ini bisa berupa jabatan, popularitas media sosial, atau kekayaan yang menuntut kita mengorbankan prinsip agama.
Mata yang teralihkan adalah cerminan hati yang mulai menimbang-nimbang antara pahala akhirat dan kesenangan sesaat. Ayat ini mengingatkan bahwa fokus sejati harus selalu tertuju pada keridhaan Ilahi, bukan kilauan dunia yang fana.
Pilar ketiga dan keempat saling berkaitan: "dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti keinginannya" (وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ). Kelalaian hati (الغفلة - al-ghafalah) adalah penyakit kronis yang membuat seseorang lupa tujuan hidupnya. Orang yang lalai seringkali didorong oleh hawa nafsu (هواه - hawaah), yang cenderung mendorong pada pelanggaran batas.
Ketika seseorang telah lalai, pikirannya dipenuhi hal-hal yang tidak bermanfaat, dan tindakannya akan mengikuti jalur yang paling mudah—jalur yang bertentangan dengan wahyu. Pemuda Kahfi berhasil karena mereka secara radikal memisahkan diri dari lingkungan yang didominasi kelalaian ini.
Ayat diakhiri dengan peringatan terhadap perilaku yang melampaui batas (وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا - wa kaana amruhu furutha). 'Furut' bisa berarti melampaui batas, berlebihan, atau menyia-nyiakan. Dalam konteks yang mengikuti hawa nafsu, ini adalah tentang kegagalan mengendalikan diri hingga melakukan perbuatan sia-sia atau bahkan dosa besar. Ketika hati telah lalai, tindakan melampaui batas adalah konsekuensi logisnya. Kesabaran sejati adalah disiplin diri agar tidak terjerumus ke dalam pemborosan spiritual dan material.
Di era informasi yang serba cepat dan penuh distraksi, Kahfi Ayat 28 menjadi kompas moral. Dunia modern menawarkan "perhiasan kehidupan dunia" dalam bentuk hiburan tanpa henti, kesibukan tanpa tujuan, dan pujian instan. Jika kita tidak secara sadar memilih untuk duduk bersama orang-orang yang mengingatkan kita akan akhirat ('pagi dan petang'), kita akan mudah terseret oleh arus popularitas yang dangkal dan tren yang melalaikan.
Ayat ini mengajarkan bahwa keberanian terbesar bukanlah melawan musuh di medan perang, melainkan keberanian untuk mempertahankan fokus spiritual kita di tengah keramaian dunia. Keselamatan iman Ashabul Kahfi terjamin bukan hanya karena mereka lari, tetapi karena mereka memilih bersama siapa mereka akan menghabiskan waktu mereka, dan apa yang mereka izinkan untuk dilihat oleh mata mereka.
Memahami dan mengamalkan isi ayat ini adalah kunci untuk menjaga istiqamah—keteguhan di jalan lurus—sampai akhir hayat.