Simbol keagungan Pura Besakih di lereng Gunung Agung.
Pura Besakih, yang sering dijuluki sebagai “Ibu Segala Pura” (Pura Penataran Agung Besakih), merupakan kompleks pura terbesar dan paling suci di Pulau Dewata, Bali. Terletak megah di lereng barat daya Gunung Agung, pura ini bukan sekadar tempat ibadah; ia adalah cerminan kosmologi Hindu Dharma Bali yang mendalam dan pusat dari kehidupan spiritual masyarakat setempat. Kompleks ini berdiri sebagai warisan leluhur yang menyimpan nilai sejarah dan spiritual tak ternilai harganya.
Berada pada ketinggian yang signifikan, Pura Besakih menawarkan pemandangan spektakuler sekaligus aura spiritual yang kental. Kompleks ini terdiri dari setidaknya 86 pura yang tersebar di lereng gunung, yang terbagi menjadi pura utama (Pura Penataran Agung) dan pura-pura pendukung yang didedikasikan untuk berbagai manifestasi Dewa. Tata letak pura ini mengikuti konsep Tri Loka (tiga alam) dalam kosmologi Hindu.
Pura Penataran Agung merupakan pusat dari keseluruhan kompleks, didedikasikan untuk memuja Dewa Siwa. Dari pura pusat ini, jalur tangga batu mengarah ke atas, semakin mendekati puncak spiritual. Struktur pura yang berlapis-lapis, ditandai dengan gerbang candi bentar dan padmasana bertingkat (Meru), menunjukkan hierarki dan kesinambungan spiritual yang dijaga ketat oleh para pemangku adat.
Filosofi utama di balik Pura Besakih berakar pada pemujaan Trimurti—tiga dewa utama dalam kepercayaan Hindu—yang diwakili oleh tiga pura utama di bagian paling bawah kompleks. Pura-pura ini melambangkan aspek penciptaan, pemeliharaan, dan peleburan alam semesta:
Keberadaan ketiga pura ini secara berurutan menegaskan siklus kehidupan dan keseimbangan alam semesta yang dijaga oleh energi ilahi. Bagi umat Hindu Bali, mengunjungi Besakih adalah upaya untuk menyelaraskan diri dengan energi kosmik tersebut.
Pura Besakih adalah tempat diselenggarakannya upacara-upacara besar keagamaan. Salah satu yang paling sakral adalah upacara Bhatara Turun Kabeh, yang diadakan setahun sekali (biasanya pada bulan Purnama Kasa menurut kalender Bali). Selama upacara ini, diyakini bahwa semua dewa turun dari kahyangan untuk menerima persembahan dan memberkahi dunia. Persiapan upacara ini memakan waktu berbulan-bulan dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat Bali.
Selain itu, pura ini juga menjadi lokasi utama untuk perayaan hari raya besar seperti Galungan dan Kuningan, serta upacara penting lainnya yang berkaitan dengan siklus pertanian dan kehidupan manusia. Kehadiran arca-arca kuno dan struktur bangunan yang tetap bertahan melewati berbagai zaman—termasuk letusan Gunung Agung yang dahsyat—menambah aura keajaiban dan keteguhan iman yang melekat pada situs ini.
Salah satu kisah paling heroik mengenai Pura Besakih adalah ketahanannya terhadap letusan dahsyat Gunung Agung pada tahun 1963. Letusan tersebut memporak-porandakan wilayah Bali, namun secara ajaib, aliran lahar panas dan awan panas melewati area pura tanpa merusaknya secara signifikan. Peristiwa ini dipandang oleh masyarakat Bali sebagai manifestasi langsung dari kekuatan Dewa yang bersemayam di pura tersebut, yang memilih untuk menyelamatkan pusat spiritual mereka. Hal ini semakin memperkuat status Besakih sebagai benteng spiritual yang tidak tertembus.
Mengunjungi Pura Besakih memerlukan pemahaman dan penghormatan terhadap adat istiadat setempat. Pengunjung diharapkan mengenakan pakaian adat atau setidaknya pakaian yang sopan (sarung dan selendang), karena ini adalah tempat suci yang aktif digunakan dalam praktik keagamaan sehari-hari maupun upacara besar. Pesona Besakih terletak pada perpaduan harmonis antara alam yang agung, arsitektur kuno yang megah, dan lautan spiritualitas yang tak pernah padam.