Bali, sering dijuluki Pulau Dewata, menyimpan rahasia spiritualitas yang mendalam, salah satu intisarinya termanifestasi dalam konsep Amerta Bali. Amerta, dalam kosmologi Hindu Dharma yang hidup subur di pulau ini, merujuk pada air kehidupan abadi, nektar keabadian. Ini bukan sekadar air biasa; ini adalah esensi suci yang membersihkan jiwa, menyuburkan tanah, dan menjaga keseimbangan kosmik antara manusia, alam, dan Tuhan.
Memahami Amerta Bali berarti menyelami filosofi Tri Hita Karana—tiga penyebab kebahagiaan: harmoni dengan Tuhan, harmoni antar sesama manusia, dan harmoni dengan alam. Amerta berfungsi sebagai penghubung utama dalam harmoni dengan alam dan Tuhan. Sumber mata air suci, yang sering disebut Petirtaan, dianggap sebagai manifestasi langsung dari Tirta Amerta. Air ini digunakan dalam setiap ritual, mulai dari upacara pembersihan diri (Melukat) hingga persembahan harian di Sanggah atau Merajan.
Arsitektur Air: Dari Pura hingga Subak
Infrastruktur air di Bali adalah bukti nyata bagaimana konsep Amerta diintegrasikan ke dalam kehidupan sosial dan pertanian. Sistem irigasi tradisional yang dikenal sebagai Subak, yang kini diakui sebagai Warisan Dunia UNESCO, adalah sebuah mahakarya manajemen air berbasis filosofis. Subak bukan hanya jaringan pengairan; ia adalah sebuah organisasi sosial keagamaan yang mengatur distribusi air secara adil, memastikan bahwa setiap petak sawah, yang dianggap sebagai persembahan kepada Dewi Sri, mendapatkan bagiannya secara merata.
Setiap pura besar di Bali biasanya memiliki Beji atau Taman Tirta (kolam pemandian suci) yang airnya dipercaya memiliki kekuatan penyembuhan dan penetralisir energi negatif. Prosesi penyucian diri di sumber-sumber ini adalah ritual mendalam yang mengingatkan umat Hindu Bali bahwa keberlangsungan hidup mereka bergantung pada kebaikan dan kemurnian sumber daya alam, khususnya air.
Peran Spiritualitas dalam Kelestarian Lingkungan
Dalam konteks modern, tantangan pelestarian lingkungan semakin mendesak. Filosofi Amerta Bali menawarkan kerangka kerja etis yang kuat untuk konservasi. Ketika air dianggap suci dan sumber kehidupan abadi, maka merusaknya sama dengan menodai hal yang paling sakral. Oleh karena itu, masyarakat Bali memiliki ikatan emosional dan spiritual yang kuat untuk menjaga kebersihan sungai, danau, dan mata air.
Perluasan pariwisata dan perubahan tata guna lahan sempat mengancam keseimbangan ini. Namun, kesadaran kolektif yang berakar pada konsep Amerta terus mendorong upaya restorasi. Banyak desa adat kini menerapkan kembali prinsip-prinsip kuno dalam pengelolaan limbah dan penggunaan air tanah, menyadari bahwa stabilitas spiritual dan ekonomi mereka bergantung pada kemurnian Tirta Amerta.
Menyambut Rasa Keabadian
Kunjungan ke Bali terasa berbeda ketika seseorang memahami peran sentral air suci ini. Keindahan sawah terasering yang hijau subur, kemurnian udara di dekat gunung berapi yang menjadi sumber mata air, dan ketenangan saat menyaksikan ritual di tepi danau adalah pengalaman yang merangkul esensi Amerta. Ini adalah undangan untuk merasakan keabadian—bukan dalam kemewahan fana, tetapi dalam harmoni abadi antara diri dan alam semesta.
Amerta Bali adalah pelajaran hidup bahwa keabadian sejati ditemukan dalam kesinambungan siklus alam yang kita jaga dan hormati. Ia mengingatkan bahwa setiap tetes air adalah berkah yang harus dialirkan dengan bijaksana, menjadikannya warisan spiritual yang tak ternilai harganya bagi generasi mendatang.
Saat kita meninggalkan Bali, kenangan terindah sering kali bukan hanya pemandangan matahari terbenam, melainkan rasa segar setelah menyentuh air suci yang mengalir dari jantung pulau ini, air yang telah menopang peradaban selama berabad-abad.