Shalat Dhuha adalah salah satu amalan sunnah muakkadah (sangat dianjurkan) yang memiliki kedudukan penting dalam Islam. Waktu pelaksanaannya dimulai sejak matahari terbit hingga menjelang waktu Dzuhur. Kekuatan spiritual dan janji-janji Allah SWT bagi mereka yang istiqomah melaksanakan shalat ini tertuang jelas dalam Al-Qur'an, khususnya pada Surat Ad-Dhuha ayat 1 hingga 11.
Surat Ad-Dhuha turun sebagai bentuk penghiburan dan penegasan kasih sayang Allah kepada Rasulullah ﷺ setelah jeda wahyu (fatrah al-wahyu). Melalui surat ini, kita dapat menarik pelajaran mendalam mengenai janji-janji Ilahi yang juga berlaku bagi umat-Nya yang mau mendekatkan diri melalui amal sholeh, termasuk shalat Dhuha.
"Demi waktu dhuha dan malam bila telah sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepada kamu." (QS. Ad-Dhuha: 1-3)
Ayat-ayat pembuka ini merupakan sumpah Allah SWT dengan menggunakan waktu Dhuha itu sendiri. Sumpah ini menegaskan bahwa pagi hari, waktu pelaksanaan shalat Dhuha, adalah waktu yang penuh keberkahan. Sumpah ini ditujukan untuk menghilangkan kekhawatiran dan kesedihan. Bagi seorang Muslim yang merasa ditinggalkan atau sedih, mengingat sumpah ini saat melaksanakan shalat Dhuha dapat menumbuhkan keyakinan bahwa Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya, selama hamba tersebut tidak meninggalkan ketaatan.
"Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang pertama. Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga kamu menjadi puas." (QS. Ad-Dhuha: 4-5)
Ini adalah inti dari janji kenikmatan akhirat yang lebih baik daripada kenikmatan duniawi. Namun, dalam konteks duniawi, para ulama menafsirkan bahwa kebaikan yang dijanjikan juga meliputi kemudahan rezeki, ketenangan jiwa, dan peningkatan derajat di dunia. Melaksanakan shalat Dhuha secara konsisten adalah ikhtiar spiritual untuk meraih 'kebaikan yang lebih baik' tersebut, baik di masa kini maupun nanti.
"Bukankah Dia mendapatimu seorang yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk? Dan Dia mendapatimu seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan kepadamu?" (QS. Ad-Dhuha: 6-8)
Setelah memberikan janji, Allah mengingatkan Rasulullah ﷺ akan pertolongan-Nya di masa lalu. Ayat-ayat ini mengajarkan kita untuk bersyukur. Ketika kita mengangkat tangan dalam shalat Dhuha, kita diingatkan bahwa Allah adalah Pemberi perlindungan, Pemberi petunjuk, dan Pemberi kecukupan. Rasa syukur ini adalah kunci utama datangnya keberkahan rezeki. Shalat Dhuha menjadi ritual syukur yang melancarkan aliran rezeki.
"Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta janganlah engkau mengusir. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau menyiarkan (menyebut-nyebutnya)." (QS. Ad-Dhuha: 9-11)
Puncak dari penerimaan nikmat adalah kewajiban untuk menyebarkan kebaikan tersebut. Perintah untuk tidak menolak orang yang meminta dan bersikap baik kepada anak yatim adalah manifestasi nyata dari rasa syukur atas kecukupan yang diberikan Allah. Dalam konteks shalat Dhuha, menyiarkan nikmat berarti mengakui bahwa setiap rezeki yang kita peroleh—termasuk rezeki yang diharapkan dari Dhuha—datangnya dari Allah, sehingga mendorong kita untuk lebih dermawan.
Surat Ad-Dhuha memberikan landasan teologis yang kuat mengapa shalat Dhuha itu penting. Shalat ini bukan sekadar ritual penarik rezeki, melainkan sebuah komitmen harian untuk menegaskan kembali tiga pilar hubungan spiritual:
Dengan memahami pesan-pesan dalam Ad-Dhuha 1-11, shalat Dhuha bertransformasi menjadi ibadah yang menenangkan jiwa, menjamin perlindungan dari kesulitan, dan membuka pintu-pintu rezeki yang tak terduga dari Sang Pemberi kecukupan.