Ilustrasi simbolis kehancuran pasukan besar oleh kuasa Ilahi.
Surat Al-Fil, yang berarti "Gajah," adalah salah satu surat terpendek dalam Al-Qur'an, namun memiliki narasi yang sangat kuat mengenai kebesaran Allah SWT dalam melindungi Ka'bah dan menghancurkan kesombongan manusia. Kisah ini terjadi sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, menyoroti bagaimana kekuatan fisik tidak berarti di hadapan kehendak Ilahi.
Ayat-ayat dalam surat ini menceritakan tentang upaya Raja Abrahah dari Yaman yang ingin menghancurkan Ka'bah karena ia cemburu melihat kemuliaan Mekkah sebagai pusat ibadah. Untuk melaksanakan niat jahatnya, ia mengerahkan pasukan besar yang didukung oleh gajah-gajah perkasa.
Artinya: "Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia?"
Ayat ketiga ini adalah inti dari pertanyaan retoris yang menegaskan kegagalan total rencana Abrahah. Kata "kaid" (tipu daya/rencana jahat) merujuk pada strategi militer yang telah disiapkan oleh Abrahah. Pasukan ini bukan sekadar tentara biasa; mereka dipimpin oleh gajah-gajah besar yang pada masa itu merupakan simbol kekuatan militer tak tertandingi, dirancang untuk menakut-nakuti dan merobohkan bangunan suci.
Untuk memahami kedalaman ayat ke-3 ini, kita perlu melihat konteksnya. Ayat pertama mempertanyakan, "Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah memperlakukan tentara bergajah?" (Al-Fil: 1). Ayat kedua menjelaskan bahwa tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) tidaklah berhasil. Kemudian, ayat ketiga menanyakan apakah tipu daya itu telah dijadikan sia-sia oleh Allah.
Lalu, bagaimana Allah mewujudkan kesia-siaan tipu daya tersebut? Jawabannya ada pada ayat selanjutnya (ayat ke-4): "dan Dia mengirimkan kepada mereka burung-burung yang berbondong-bondong (Ababil), yang melempari mereka dengan batu dari tanah yang keras."
Ayat ke-3 ini berfungsi sebagai titik balik dramatis. Allah menunjukkan bahwa perencanaan militer yang canggih, dengan dukungan teknologi perang (gajah), sama sekali tidak berdaya ketika dihadapkan dengan intervensi Ilahi. Kekuatan yang tampak luar biasa itu dihancurkan bukan oleh pasukan yang lebih besar, melainkan oleh makhluk kecil yang dikirimkan secara teratur.
Kisah ini mengajarkan beberapa pelajaran penting, terutama bagi umat Islam di masa awal kenabian yang sedang menghadapi penindasan kaum Quraisy dan kekuatan Quraisy yang dominan. Pertama, ini adalah jaminan bahwa Allah akan selalu melindungi rumah-Nya dan mereka yang bersandar kepada-Nya.
Kedua, surat ini menegaskan bahwa ukuran kekuatan bukanlah pada materi atau jumlah. Tentara Abrahah memiliki ribuan pasukan dan gajah, sementara para pembela Mekkah sedikit dan tidak bersenjata. Namun, ketika rencana jahat itu dilemparkan ke dalam "tadhliil" (kesia-siaan atau kesesatan), semua persiapan mereka menjadi tidak berguna.
Ayat ke-3 menekankan bahwa Allah tidak perlu menggunakan kekuatan setara untuk mengalahkan musuh yang sombong. Ia hanya membutuhkan mekanisme kecil—burung Ababil yang membawa batu sijjil (batu tanah yang dibakar di neraka)—untuk membuktikan kekuasaan-Nya. Batu-batu kecil itu berfungsi sebagai proyektil yang mematikan, menghancurkan mereka hingga seperti daun-daun yang dimakan ulat.
Dengan demikian, ketika kita membaca atau merenungkan tuliskan surat alfil ayat ke 3, kita diingatkan bahwa setiap rencana buruk yang ditujukan kepada kebenaran atau orang-orang yang dizalimi pada akhirnya akan dikembalikan kepada pelakunya dalam bentuk kegagalan total, karena Allah adalah Pengatur Urusan yang Maha Kuasa.