Surat Al-Fatihah, atau "Pembukaan", adalah surat pertama dalam Al-Qur'an dan merupakan inti dari shalat kita. Setiap ayatnya mengandung makna spiritual yang mendalam. Ayat keempat, khususnya, adalah jembatan penting antara pujian kepada Allah dan permohonan pertolongan.
Terjemahan lain yang sering digunakan adalah "Raja pada hari Kiamat" atau "Yang menguasai hari perhitungan."
Simbolisasi Kekuasaan Mutlak
Ayat keempat ini menetapkan otoritas tunggal Allah SWT atas segalanya, bukan hanya di dunia ini (yang telah ditegaskan di ayat sebelumnya, Ar-Rahman Ar-Rahim), tetapi yang paling penting, pada saat segala kepemilikan duniawi akan musnah.
Kata "Maliki" (Pemilik/Raja) sangatlah kuat. Ini berbeda dengan sekadar "Pemelihara" atau "Penguasa." Kata ini menyiratkan kepemilikan total, absolut, dan tidak terbagi. Pada Hari Kiamat—hari di mana semua raja, sultan, pengusaha, dan penguasa duniawi kehilangan gelar dan kekuasaan mereka—hanya Allah yang akan tetap menjadi Malik.
Istilah "Yaumid-Din" (Hari Pembalasan/Perhitungan) mengacu pada Hari Kiamat. Ini adalah hari ketika setiap amal perbuatan, sekecil apa pun, akan dihisab. Tidak ada lagi penundaan, tidak ada lagi perantara yang bisa disuap. Semua manusia akan berdiri di hadapan Yang Maha Adil.
Ayat ini memberikan dua fungsi krusial bagi seorang Muslim:
Dengan mengucapkan ayat ini, seorang hamba mengakui bahwa satu-satunya harapan dan tujuan akhir mereka adalah keridhaan dari Sang Raja Hari Pembalasan. Pengakuan ini mempersiapkan hati untuk ayat berikutnya, yaitu permohonan pertolongan, karena hanya Pemilik hari perhitunganlah yang layak untuk dimintai pertolongan.
Memahami terjemahan surat Al-Fatihah ayat 4 secara mendalam membantu kita menghayati setiap shalat, mengubahnya dari sekadar ritual hafalan menjadi dialog spiritual yang penuh makna dan kesadaran akan Kekuasaan Ilahi yang tak terbatas.