Ilustrasi Keteguhan dalam Berinteraksi
Ayat ke-28 dari Surah Al-Kahfi adalah salah satu pilar penting dalam memahami konsep pertemanan, prioritas hidup, dan keteguhan spiritual dalam Islam. Ayat ini diturunkan, atau setidaknya sangat relevan, dengan konteks kisah Ashabul Kahfi (pemuda gua) yang meninggalkan kemewahan dunia demi ketaatan kepada Allah SWT. Pesan utama dalam ayat ini adalah sebuah perintah eksplisit dari Allah kepada Rasulullah ﷺ, yang sekaligus menjadi pedoman universal bagi seluruh umat Muslim: untuk memilih lingkungan pergaulan yang membawa berkah.
Fokus pertama dari ayat ini adalah perintah: "Washbir nafsaka ma'al ladzeena yad'oona Rabbahum bil ghadaati wal 'ashiy..." (Dan bersabarlah engkau bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, yang mengharapkan keridaan-Nya). Ini menekankan bahwa kesabaran bukan hanya menahan diri dari kesulitan eksternal, tetapi juga menahan diri untuk tetap berada di tengah majelis dzikir dan ibadah. Kelompok yang disebut di sini adalah mereka yang secara konsisten, pagi dan petang, mengingat dan menyembah Allah. Mereka adalah cerminan dari prioritas sejati; mencari wajah (keridaan) Allah, bukan pujian manusia atau kenikmatan duniawi.
Tafsir Al-Kahfi 28 mengajarkan bahwa kualitas iman seseorang sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkar pergaulannya. Dalam menghadapi tantangan dakwah atau ujian keimanan, kehadiran teman-teman yang juga sedang berjuang mencari keridhaan Allah menjadi sumber kekuatan dan penguat kesabaran.
Bagian kedua ayat ini memberikan peringatan keras terhadap godaan duniawi: "...wa laa ta'du 'ainaka 'anhum turidu zeenatal hayaatid dunya..." (dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka, karena menginginkan perhiasan kehidupan duniawi). Ayat ini mengarahkan pandangan hati. Mata yang dimaksud di sini adalah fokus perhatian dan keinginan hati. Jika seseorang memiliki teman yang saleh, namun ia justru lebih tertarik pada gemerlap materi, status sosial, atau hiburan duniawi yang ditawarkan oleh orang lain, maka ia telah melanggar perintah ini.
Ini sangat relevan di era modern di mana media sosial dan konsumerisme gencar menawarkan "perhiasan kehidupan dunia" yang fana. Ayat ini mendiktekan bahwa fokus kita harus selalu tertuju pada mereka yang memiliki tujuan akhirat, bukan teralih oleh kilauan sementara yang ditawarkan oleh mereka yang lupa akan tujuan tersebut.
Ancaman terbesar datang pada kalimat terakhir ayat: "...wa laa tuthi' man aghfalnaa qalbahu 'an dhikrinaa wattaba'a hawaahu wa kaana amruhu furutha" (dan janganlah engkau menuruti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, dan yang menuruti keinginannya dan adalah keadaannya itu melewati batas). Ayat ini memberikan kriteria jelas mengenai siapa yang harus dihindari:
Menuruti mereka tidak hanya berarti mengikuti tindakan mereka, tetapi juga membiarkan pola pikir mereka meresap ke dalam diri. Dalam konteks tafsir Al-Kahfi 28, ini adalah penegasan bahwa loyalitas spiritual harus diutamakan di atas popularitas atau pengaruh sosial. Para sahabat Nabi ﷺ, yang seringkali miskin dan terpinggirkan secara sosial, adalah contoh nyata dari komunitas yang dipilih Allah karena keteguhan mereka, bukan kekayaan mereka.
Tafsir Al-Kahfi ayat 28 adalah manual praktis untuk menjaga integritas spiritual di tengah arus dunia yang cenderung hedonistik. Ia memerintahkan kita untuk secara aktif mencari dan mempertahankan persahabatan yang mendukung perjalanan menuju surga (orang yang berdzikir pagi dan petang), sambil secara tegas menjauhi pengaruh mereka yang telah menjual fokus akhirat mereka demi kesenangan duniawi sesaat. Kesabaran spiritual dimulai dari ketegasan memilih siapa yang kita izinkan memasuki lingkar pengaruh kita.