Qul Huwallahu Ahad: Tauhid dalam Empat Ayat Singkat
Surat Al-Ikhlas, yang merupakan surat ke-112 dalam Al-Qur'an, dinamakan demikian karena maknanya yang memurnikan (ikhlas) ajaran Islam dari segala bentuk kesyirikan. Surat ini hanya terdiri dari empat ayat pendek, namun kedudukannya sangat tinggi dalam Islam. Rasulullah ﷺ bahkan menyatakan bahwa membaca surat ini setara dengan membaca sepertiga Al-Qur'an. Hal ini menunjukkan betapa mendalam dan fundamentalnya pesan tauhid yang terkandung di dalamnya.
Nama surat ini sering juga disebut sebagai 'Qul Huwallahu Ahad' berdasarkan kata pembukanya. Surat ini turun sebagai jawaban atas pertanyaan orang-orang musyrik Quraisy—atau dalam riwayat lain dari Ahli Kitab—yang menanyakan tentang nasab (garis keturunan) dan sifat Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad ﷺ. Jawaban yang diberikan Allah SWT melalui Nabi-Nya adalah penegasan mutlak mengenai keunikan, keesaan, dan kesempurnaan Dzat-Nya.
Berikut adalah teks Arab, transliterasi, dan terjemahan dari Surat Al-Ikhlas (112: 1-4):
Empat ayat ini merangkum fondasi tauhid yang paling murni, menolak segala bentuk pemikiran yang dapat mencemari keagungan Allah SWT.
Kata 'Ahad' berarti satu, tunggal, dan tidak terbagi. Ini adalah penegasan pertama bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Esa, tidak ada duanya, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam sifat maupun zat-Nya. Kata Ahad di sini menunjukkan keesaan yang absolut dalam segala aspek, berbeda dengan 'Wahid' yang terkadang bisa berarti satu dalam jumlah, namun bisa juga ada yang lain. 'Ahad' menegaskan ketunggalan yang mutlak.
Ash-Shamad adalah sebuah nama yang kaya makna. Secara umum, ia diartikan sebagai Zat Yang Maha Dibutuhkan, tempat semua makhluk bergantung dalam segala kebutuhan mereka—baik kebutuhan materi, spiritual, maupun pelindungan. Allah SWT adalah tujuan akhir dari segala harapan, tempat kembali dari setiap urusan. Dia Maha Sempurna sehingga tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Makna ini menolak gagasan bahwa Allah lemah atau membutuhkan pertolongan.
Ayat ini secara tegas meniadakan segala bentuk perbandingan keturunan atau hubungan kekerabatan dengan Allah. Ini adalah bantahan terhadap keyakinan politeisme yang menyembah berhala sebagai anak dewa, serta bantahan terhadap klaim Yahudi dan Nasrani yang menyatakan uzair atau Isa putra Allah. Sesuatu yang melahirkan pasti mengalami kekurangan atau memerlukan proses, sedangkan Allah Maha Sempurna dan abadi, tidak mengalami pergantian keadaan atau pembatasan waktu.
Ini adalah kesimpulan pamungkas dari tauhid. Tidak ada satu pun makhluk, baik di langit maupun di bumi, yang memiliki kemiripan sedikit pun dengan kesempurnaan Allah. Tidak ada tandingan, tidak ada perbandingan, dan tidak ada yang bisa disamakan dengan-Nya. Kemahaesaan-Nya tidak hanya meliputi zat, tetapi juga sifat-sifat-Nya seperti kemahakuasaan, kemahatahuan, dan keabadian.
Keutamaan surat ini sangat banyak disebutkan dalam hadis. Salah satu riwayat yang paling terkenal adalah ketika Nabi ﷺ bersabda, "Barangsiapa membaca (Surat) Al-Ikhlas sebanyak sepuluh kali, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah istana di surga." Selain itu, kecintaan Rasulullah ﷺ terhadap surat ini juga menjadi bukti betapa pentingnya membenamkan makna tauhid ini dalam jiwa seorang Muslim. Mengulang bacaannya berarti mengulang penegasan keyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah dengan cara yang murni.
Surat Al-Ikhlas bukan sekadar bacaan ritual, melainkan deklarasi akidah harian. Ia adalah perisai spiritual yang melindungi hati dari kaburnya pemahaman tentang hakikat Tuhan. Dengan memahami dan merenungkan maknanya, seorang mukmin diingatkan untuk selalu memurnikan niat dan ibadahnya, menjauhkannya dari segala bentuk pamrih duniawi atau pengagungan selain kepada Allah Yang Maha Esa.