Surat Al-Lail (Malam) adalah salah satu surat Makkiyah yang kaya akan pesan moral dan peringatan tentang tanggung jawab individu di hadapan Allah SWT. Di antara ayat-ayatnya yang mendalam, **Surat Al-Lail ayat 15** memegang peranan penting dalam menjelaskan konsekuensi dari pilihan hidup yang kita ambil.
فَمَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى
(Fa man a’ṭā wattaqā)
Ayat 15 ini harus dibaca beriringan dengan ayat berikutnya (ayat 16 dan 17) untuk memahami konteks janji balasan surga dan ancaman bagi mereka yang kikir.
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى (15) وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى (16) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى (17)
"Maka adapun orang yang memberikan hartanya dan bertakwa, (16) dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), (17) maka kelak Kami akan memudahkan baginya jalan kemudahan (surga)." (QS. Al-Lail: 15-17)
Fokus utama kita adalah pada bagian pertama dari rangkaian janji tersebut: "Maka adapun orang yang memberikan hartanya dan bertakwa". Ayat ini bukan hanya berbicara tentang memberi secara umum, melainkan tentang korelasi erat antara kedermawanan (infaq) dan ketakwaan.
Kata kunci dalam Surat Al-Lail ayat 15 adalah 'a'ṭā (memberi) dan 'attaqā (bertakwa). Kedua tindakan ini tidak terpisahkan dalam pandangan Islam. Pemberian yang sesungguhnya, yang dinilai tinggi oleh Allah SWT, bukanlah semata-mata tindakan fisik mengeluarkan harta, tetapi harus didasari oleh landasan spiritual yang kuat, yaitu ketakwaan.
Ketakwaan adalah kesadaran penuh bahwa setiap perbuatan, termasuk memberi, sedang diamati oleh Allah. Seseorang yang bertakwa akan menggunakan hartanya bukan untuk kesombongan atau pemuasan hawa nafsu, tetapi untuk mencari ridha-Nya. Ketika harta dibelanjakan di jalan Allah, itu adalah bukti nyata bahwa ia lebih mencintai apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di sisinya.
Memberi di sini mencakup infaq wajib (zakat) dan infaq sunnah (sedekah). Ini adalah ujian finansial. Dunia mendorong manusia untuk menimbun dan khawatir akan kekurangan di masa depan. Ayat ini membalikkan logika tersebut, mengajarkan bahwa dengan melepaskan harta demi kebaikan, rezeki justru akan bertambah, baik secara materi maupun spiritual.
Ketakwaan adalah menjaga diri dari murka Allah. Dalam konteks memberi, ketakwaan memfilter niat. Orang yang hanya memberi untuk pamer (riya’) tidak mencapai derajat yang dijanjikan dalam ayat ini, karena ia belum benar-benar 'bertaqwa' dalam proses pemberiannya. Ketakwaan memastikan bahwa yang ia berikan adalah harta yang halal, dan tujuannya adalah mencari balasan akhirat.
Imam Mujahid dan Qatadah menafsirkan bahwa orang yang memenuhi kriteria Surat Al-Lail ayat 15 ini—memberi dan bertakwa—akan dipermudah jalannya menuju al-yusrā, yakni jalan menuju kemudahan di dunia dan kemudahan menuju surga di akhirat.
Di dunia, kemudahan ini terwujud dalam bentuk kelapangan hati, ketenangan jiwa, terhindar dari sifat kikir yang menyempitkan dada, serta rezeki yang berkah. Di akhirat, janji kemudahan ini sangat krusial, terutama ketika menghadapi sakaratul maut, proses hisab, dan melintasi Shirathal Mustaqim.
Allah SWT menjanjikan kemudahan karena orang tersebut telah memudahkan urusan orang lain saat ia hidup. Ketika ia melepaskan hartanya untuk membantu sesama yang membutuhkan, Allah SWT akan memudahkan segala kesulitan yang dihadapinya kelak. Ini adalah hukum sebab akibat kosmik yang diterapkan oleh Sang Pencipta.
Ayat 15 ini menjadi penyeimbang bagi ayat-ayat berikutnya yang mengancam mereka yang kikir dan mendustakan pahala. Ayat 16 dan 17 menunjukkan bahwa pilihan hidup itu jelas: antara kikir (yang membawa pada kesulitan) atau dermawan (yang membawa pada kemudahan).
Tidak peduli seberapa banyak harta yang dimiliki, jika ia menjadi budak hartanya, ia sedang menempuh jalan kesulitan. Sebaliknya, orang yang menguasai hartanya melalui ketaqwaan dan kedermawanan, ia sedang membuka pintu rahmat dan kemudahan yang dijanjikan Allah SWT dalam Surat Al-Lail ayat 15.
Pada intinya, ayat ini adalah dorongan kuat bagi setiap Muslim untuk meninjau kembali hubungan mereka dengan harta benda. Kekayaan sejati bukanlah jumlah kepemilikan, melainkan seberapa banyak harta tersebut telah digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meringankan beban sesama manusia.