Surat Al-Kahfi, surat ke-18 dalam Al-Qur'an, menyimpan banyak kisah inspiratif dan pelajaran mendalam mengenai ujian kehidupan. Bagian akhir surat ini, khususnya ayat 83 hingga 110, menawarkan penutup yang kuat, mengakhiri kisah Ashabul Kahfi (pemuda gua) dan memberikan landasan teologis tentang keagungan Allah SWT serta konsekuensi dari perbuatan manusia.
Ilustrasi visualisasi perjalanan dan penemuan hikmah.
Kelanjutan Kisah Zulqarnain (Ayat 83-98)
Setelah membahas pemuda Ashabul Kahfi, Allah SWT mengarahkan narasi kepada sosok penguasa agung bernama Zulqarnain. Zulqarnain digambarkan sebagai hamba Allah yang diberi kekuasaan luar biasa untuk menjelajahi bumi, berbuat baik, dan menegakkan keadilan. Kisahnya dibagi menjadi tiga ekspedisi penting.
Ekspedisi pertamanya membawanya ke tempat terbenamnya matahari, di mana ia menemukan kaum yang hidup dalam kesesatan. Ayat-ayat ini menegaskan bahwa Zulqarnain memilih untuk tidak menghakimi dengan paksaan, melainkan menawarkan pilihan: azab atau petunjuk. Pendekatan ini menunjukkan bahwa penegakan kebenaran harus disertai dengan hikmah dan memberikan kebebasan memilih kepada manusia.
Ekspedisi kedua membawanya ke tempat terbitnya matahari, dan yang ketiga adalah membangun penghalang antara umat manusia yang lemah dan kaum Ya'juj dan Ma'juj yang merusak. Pembangunan benteng dari besi dan tembaga oleh Zulqarnain adalah metafora kekuatan yang digunakan untuk tujuan mulia—melindungi kebaikan dari keburukan.
"Dan mereka bertanya kepadamu tentang Dzulkarnain. Katakanlah: 'Aku akan membacakan kepadamu sebagian dari ceritanya.'" (QS. Al-Kahfi: 83)
Kebenaran Janji Allah dan Pertanggungjawaban (Ayat 99-103)
Setelah kisah Zulqarnain selesai, fokus kembali pada tema utama surat: pertanggungjawaban di Hari Kiamat. Bagian ini berfungsi sebagai pengingat keras bagi mereka yang mengejar kehidupan duniawi tanpa memikirkan akhirat.
Ayat 99 menegaskan bahwa pada Hari Penghisaban, semua penghalang akan dihilangkan, dan manusia akan berdiri di hadapan Allah. Kekuasaan duniawi yang mereka banggakan akan sirna. Mereka yang selama ini mengingkari ayat-ayat Allah dan meremehkan pertemuan dengan-Nya akan menerima konsekuensinya.
Ayat-ayat ini menekankan bahwa kerugian terbesar bukanlah kehilangan harta atau tahta di dunia, melainkan kerugian abadi di akhirat. Mereka yang memilih kesesatan akan dimasukkan ke dalam neraka Jahanam, sebuah tempat peristirahatan yang mengerikan, bukan menyenangkan.
Pahala Bagi Orang Beriman dan Pesan Penutup (Ayat 104-110)
Kontras antara nasib orang durhaka dan orang beriman disajikan secara jelas. Bagi mereka yang imannya kokoh dan amalannya saleh, disediakan surga Firdaus. Surga ini digambarkan sebagai tempat kediaman yang kekal, di mana tidak ada lagi keinginan yang tidak terpenuhi.
Ayat 107-108 secara eksplisit memberikan kabar gembira bagi orang yang beriman dan beramal saleh: mereka akan kekal di surga. Keabadian ini adalah puncak harapan setiap mukmin, sebuah tempat yang nilainya jauh melebihi kenikmatan duniawi yang fana.
Ayat penutup surat ini (Ayat 110) adalah ringkasan pesan kenabian yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Allah memerintahkan Nabi untuk menyatakan bahwa beliau hanyalah seorang manusia biasa, seorang pemberi peringatan, yang diberi wahyu. Inti dari wahyu tersebut adalah ajaran tauhid—bahwa Tuhan kalian hanyalah satu Tuhan saja.
"Katakanlah (Muhammad): 'Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan jangan ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.'" (QS. Al-Kahfi: 110)
Refleksi dan Aplikasi Praktis
Kombinasi kisah Zulqarnain dan peringatan hari kiamat dalam rentang ayat 83 hingga 110 Surat Al-Kahfi mengajarkan kita prinsip keseimbangan hidup. Pertama, pentingnya menggunakan kekuatan dan ilmu yang diberikan Allah (seperti Zulqarnain) untuk tujuan kebaikan dan keadilan, bukan kesombongan atau penindasan.
Kedua, manusia harus selalu sadar bahwa kenikmatan duniawi, seindah apa pun (seperti taman yang dilihat oleh pemiliknya dalam ujian lain di surat ini), bersifat sementara. Fokus utama harus dialihkan pada kualitas amal perbuatan yang akan menentukan keabadian kita. Surat ini menutup dengan tegas mengingatkan bahwa kesempurnaan ibadah adalah dengan memurnikan tauhid, menjauhkan segala bentuk syirik, karena hanya amal saleh yang disertai keikhlasan tauhid yang akan diterima dan diberi balasan abadi di sisi Allah SWT.