Kisah Nabi Musa dan Al-'Alim (Khidir)

Surat Al-Kahfi Ayat 75 - 83

Ilustrasi Pertemuan Musa dan Khidir di Pantai Gambar sederhana dua sosok berjalan di pantai dengan perahu kecil di kejauhan, melambangkan perjalanan mencari ilmu. Musa Khidir

Kisah antara Nabi Musa AS dan hamba Allah yang saleh, yang biasa disebut Al-'Alim atau Khidir, adalah salah satu episode paling mendalam dalam Al-Qur'an. Kisah ini diceritakan dalam Surat Al-Kahfi, dimulai dari ayat 60 dan berlanjut hingga ayat-ayat akhir surah. Ayat 75 hingga 83 secara spesifik membahas titik balik penting dalam perjalanan mereka setelah mereka menemukan sosok yang mereka cari.

Nabi Musa telah menepati janji untuk bersabar menemani Al-'Alim selama tiga hari, meskipun ia telah berulang kali mengingkari janjinya karena ketidaksabarannya menyaksikan perbuatan-perbuatan yang tampak keliru. Ketika mereka tiba pada titik perpisahan, Al-'Alim mengingatkan Musa tentang janji awal mereka.

قَالَ هَٰذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ ۚ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِع عَلَيْهِ صَبْرًا

Ayat 75: "Berkata [Khidir], 'Inilah perpisahan antara aku dan kamu. Aku akan memberitahukan kepadamu makna dari apa yang kamu tidak dapat bersabar atasnya.'"

Ayat ini menandai dimulainya penjelasan mendalam. Al-'Alim kini diperbolehkan membuka rahasia di balik tindakan-tindakannya yang membuat Musa keheranan, seperti melubangi perahu, membunuh seorang anak muda, dan memperbaiki dinding yang hampir roboh.

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

Ayat 76: "Adapun perahu, maka perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut; dan aku bermaksud hendak merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap perahu [yang baik] secara paksa."

Tindakan pertama yang dijelaskan adalah pelubangan perahu. Ini bukan tindakan kezaliman, melainkan strategi perlindungan. Raja yang zalim akan mengambil perahu yang sempurna, sehingga dengan merusaknya sedikit, perahu itu selamat dari perampasan, sekaligus menyelamatkan pemiliknya yang miskin dari kerugian besar.

وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا

Ayat 77: "Adapun anak muda itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang yang beriman, dan kami khawatir bahwa dia akan membebani keduanya dengan kedurhakaan dan kekafiran."

Mengenai anak muda yang dibunuhnya, Al-'Alim menjelaskan bahwa anak itu ditakdirkan menjadi pemicu kekafiran bagi orang tuanya yang beriman. Kematian dini sang anak adalah rahmat yang menyelamatkan iman kedua orang tuanya dari ujian berat yang akan ditimbulkan oleh perilaku kufur anak tersebut kelak.

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَرْقُبَانِ عَلَيْهِ وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَلَيْهِ صَبْرًا

Ayat 78: "Adapun dinding itu, maka itu adalah kepunyaan dua orang anak lelaki yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta simpanan kepunyaan mereka berdua, dan ayah mereka adalah seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai usia dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanan itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan aku tidak melakukannya menurut kehendakku. Itulah makna dari apa yang kamu tidak dapat bersabar atasnya."

Peristiwa terakhir adalah perbaikan dinding. Dinding itu melindungi harta warisan milik dua anak yatim piatu. Ayah mereka yang saleh telah menitipkan agar harta tersebut tidak diambil sebelum mereka dewasa. Tindakan Al-'Alim adalah bentuk penjagaan ilahi atas hak kedua anak tersebut.

Menutup perjumpaan yang penuh pelajaran tersebut, Al-'Alim menegaskan bahwa semua tindakannya didasarkan pada wahyu dan kehendak Allah semata, bukan inisiatif pribadinya. Hal ini menunjukkan tingginya derajat ilmu yang dimiliki oleh Khidir, yang melampaui ilmu wahyu yang diterima Nabi Musa AS pada saat itu.

وَيَسْأَلُونَكَ عَن ذِي الْقَرْنَيْنِ ۖ قُلْ سَأَتْلُو عَلَيْكُم مِّنْهُ ذِكْرًا

Ayat 79: "Dan mereka bertanya kepadamu tentang Dzulkarnain. Katakanlah: 'Aku akan membacakan kepadamu suatu keterangan mengenainya.'"

Setelah perpisahan mendalam ini, konteks Al-Qur'an beralih ke topik lain yang sempat ditanyakan oleh kaum musyrikin kepada Rasulullah SAW, yaitu tentang kisah Raja Dzulkarnain. Ayat 79 menjadi jembatan menuju kisah penjelajah agung ini, menutup babak Musa dan Khidir dengan penegasan bahwa setiap kejadian memiliki hikmah tersembunyi dari Allah SWT.

إِنَّا مَكَّنَّا لَهُ فِي الْأَرْضِ وَآتَيْنَاهُ مِن كُلِّ شَيْءٍ نَّسَبًا

Ayat 80: "Sesungguhnya Kami telah memberikan kekuasaan kepadanya di muka bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan untuk mencapai segala sesuatu."

Ayat 80 dan 81 mengawali kisah Dzulkarnain, menegaskan bahwa kekuasaan dan sarana yang dibutuhkannya adalah anugerah dari Allah, bukan hasil kemampuannya semata. Ini memberikan pelajaran penting bagi umat manusia bahwa kekuatan sejati datang dari sumber ilahi, bukan hanya dari ambisi duniawi.

حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَوَجَدَ عِندَهَا قَوْمًا ۗ قُلْنَا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَن تُعَذِّبَ وَإِمَّا أَن تَتَّخِذَ فِيهِمْ خَيْرًا

Ayat 81: "Hingga apabila dia telah sampai di tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di sebuah mata air yang berlumpur hitam, dan di situlah ia menjumpai satu kaum. Allah berfirman: 'Hai Dzulkarnain, kamu boleh menghukum mereka, atau kamu boleh berbuat baik kepada mereka.'"

Kisah Dzulkarnain mengajarkan tentang bagaimana seorang pemimpin besar seharusnya menggunakan otoritasnya: dengan kebijaksanaan dan pilihan untuk berbuat baik, bukan sekadar menghukum. Kisah ini menggarisbawahi bahwa ilmu (seperti yang dicari Musa dan dimiliki Khidir) serta kekuasaan (seperti yang dimiliki Dzulkarnain) harus selalu dibingkai dalam kerangka ketaatan kepada perintah dan rahmat Allah.

🏠 Homepage