Kisah Musa dan Khidr: Pelajaran dari Surat Al-Kahfi Ayat 66-70

Pendahuluan Tentang Pencarian Ilmu

Surat Al-Kahfi adalah salah satu surat yang kaya akan pelajaran hidup, terutama dalam konteks ujian, kesabaran, dan pencarian ilmu. Di antara kisah-kisah agung di dalamnya, terdapat dialog penting antara Nabi Musa AS dengan hamba Allah yang bijaksana, Khidr AS, yang diceritakan dalam ayat 60 hingga 82. Fokus kita pada bagian ini adalah pada rentang ayat 66 hingga 70, di mana Nabi Musa mulai menunjukkan ketidaknyamanan terhadap tindakan Khidr yang tampak kontradiktif dengan logika manusia biasa.

Ayat-ayat ini menjadi pengingat fundamental bahwa ilmu yang dimiliki manusia sangat terbatas, sementara ilmu Allah (yang diwakili oleh Khidr) adalah luas dan memiliki hikmah yang tak terjangkau oleh pemikiran rasional semata. Ayat 66 membuka babak ini dengan permintaan Musa: "Musa berkata kepadanya (Khidr): 'Bolehkah aku mengikutimu, agar engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari ilmu yang benar (rasyid) yang telah diajarkan kepadamu?'"

Peta Jalan Ilmu

Ilustrasi perjalanan mencari ilmu yang penuh misteri.

Pesan Kunci Ayat 67 - Batasan Kesabaran Manusia

Khidr segera memberikan peringatan keras kepada Musa, yang menunjukkan bahwa ilmu yang akan ia ajarkan bersifat unik dan tidak dapat diterima oleh sifat dasar manusia yang tergesa-gesa dan terikat pada logika sempit.

"Dia (Khidr) berkata: 'Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan dapat bersabar bersamaku. Bagaimana engkau bisa bersabar atas sesuatu yang belum engkau ketahui secara menyeluruh?'"

(QS. Al-Kahfi: 67)

Peringatan ini adalah cermin bagi setiap penuntut ilmu. Nabi Musa, seorang utusan Allah yang memiliki kedudukan tinggi, pun diingatkan bahwa kesabaran dalam menerima kebenaran yang melampaui nalar biasa memerlukan persiapan batin yang matang. Musa harus belajar melepaskan kebutuhannya untuk segera memahami "mengapa" di balik setiap kejadian. Ini mengajarkan bahwa terkadang, menerima kebenaran (iman) harus didahulukan daripada memahami seluruh dalilnya (ilmu akal).

Permintaan dan Janji Nabi Musa (Ayat 68-69)

Menyadari kelemahan dirinya dalam hal kesabaran, Nabi Musa mengajukan permohonan ulang dengan syarat yang lebih rendah hati. Permintaan ini adalah teladan sempurna tentang bagaimana seharusnya seorang murid berinteraksi dengan gurunya.

"Musa berkata: 'Insya Allah engkau akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan mendurhakai perintahmu dalam urusan apa pun.' Dia (Khidr) berkata: 'Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun sampai aku menerangkannya kepadamu.'"

(QS. Al-Kahfi: 68-69)

Janji Musa untuk bersabar adalah janji yang dikuatkan dengan insya Allah, mengakui bahwa kemampuan bersabar itu datang dari pertolongan Ilahi. Namun, Khidr menekankan syarat yang sangat ketat: **jangan bertanya**. Syarat ini bukan bertujuan untuk menyiksa Musa, melainkan untuk melatih jiwanya agar mampu menahan gejolak rasa ingin tahu dan prasangka negatif ketika menyaksikan kejadian yang tampak buruk atau tidak masuk akal.

Dalam konteks spiritual, ini berarti kita harus membiarkan kehendak Allah berjalan, tanpa segera menghakiminya berdasarkan standar pandangan kita sesaat. Menanyakan terlalu cepat sama dengan memutus alur pelajaran ilahi tersebut.

Puncak Ujian Pertama (Ayat 70)

Ketika mereka melanjutkan perjalanan, ujian pertama datang dengan sangat cepat, menguji janji Musa.

"Lalu berjalanlah keduanya sehingga tatkala keduanya menaiki bahtera, Khidr melubanginya. Musa berkata: 'Apakah engkau melubanginya untuk menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya engkau telah berbuat suatu kesalahan yang besar.'"

(QS. Al-Kahfi: 70)

Tindakan Khidr melubangi perahu yang mereka tumpangi jelas merupakan tindakan destruktif di mata Musa. Bagi Musa, ini adalah kerusakan murni. Reaksi spontan Musa yang langsung menuduh Khidr berbuat "kesalahan besar" menunjukkan betapa kuatnya kecenderungan manusia untuk menilai berdasarkan penampilan luar dan logika sesaat. Perlu diingat, Khidr telah memperingatkan bahwa kesabaran itu sulit didapat, dan kini peringatan itu terbukti benar. Musa gagal menahan diri pada ujian pertama ini.

Refleksi dan Pelajaran

Kisah Nabi Musa dan Khidr dalam ayat 66-70 ini memberikan pelajaran penting tentang hierarki pengetahuan. Pertama, ilmu Allah selalu lebih mendalam dan bijaksana daripada ilmu manusia. Kedua, mencari ilmu sejati membutuhkan kerendahan hati total dan kemampuan untuk bersabar dalam ketidaktahuan sementara. Ketiga, pengujian terhadap kesabaran akan datang pada saat yang paling tidak terduga, menguji komitmen kita terhadap proses pembelajaran. Musa gagal menahan diri karena dia melihat tindakan Khidr dari perspektif kemaslahatan duniawi (keselamatan penumpang perahu), sementara Khidr melihatnya dari perspektif hikmah Ilahi yang lebih luas (penyelamatan perahu dari perompak di hadapan).

Dengan memahami konteks ini, kita diajak untuk lebih banyak beristighfar dan bersabar ketika menghadapi situasi kehidupan yang tampak tidak adil atau tidak masuk akal, sambil selalu berpegang teguh pada janji: "Insya Allah aku akan sabar."

🏠 Homepage