Menggali Hikmah Surat Al-Kahfi Ayat 62: Pertemuan Dua Lautan Ilmu

Ilustrasi Pertemuan Dua Laut dan Sosok Pencari Ilmu Titik Temu Ilmu

Kisah Nabi Musa AS dan Khidir AS yang termaktub dalam Surat Al-Kahfi adalah salah satu narasi paling memukau dalam Al-Qur'an. Ayat 62 dari surat mulia ini menjadi titik balik krusial dalam perjalanan menuntut ilmu mereka, sebuah dialog yang sangat kaya akan makna filosofis dan spiritual.

Teks Surat Al-Kahfi Ayat 62

فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَتْ لِفَتٰىهُ آتِنَا غَدَآءَنَا لَقَدْ لَقِيْنَا مِنْ سَفَرِنَا هٰذَا نَصَبًا

"Maka tatkala mereka telah melampaui (tempat yang ditentukan), berkatalah pemuda itu (Yusya’ bin Nun): 'Bawakanlah kepada kami makanan kami; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.'"

Ayat ini terjadi tepat setelah Musa dan muridnya, Yusya’ bin Nun, berpisah dengan Khidir—sosok yang diyakini Allah SWT sebagai pemberi ilmu khusus (ilmu laduni) yang tidak dimiliki oleh Nabi Musa saat itu. Momen ini menunjukkan aspek kemanusiaan yang sangat nyata dari seorang nabi besar.

Konteks Ayat: Batas Akhir Ilmu Musa dan Ilmu Khidir

Sebelum ayat 62, Musa AS telah berjanji kepada Khidir untuk bersabar dan mengikuti segala tindakannya, bahkan ketika tindakan tersebut tampak kontradiktif dengan syariat yang Musa pahami. Setelah peristiwa perahu ditenggelamkan dan kemudian bangunan yang diruntuhkan (tanpa izin), kesabaran Musa mulai terkikis. Puncaknya adalah ketika mereka mencapai batas perbatasan (sebuah batu besar atau tempat tertentu) yang telah Allah tetapkan sebagai titik perpisahan.

Ketika mereka melampaui batas tersebut, Yusya’ bin Nun, pembantu setia Musa, secara spontan menyuarakan kelelahan fisik mereka. Permintaan Yusya’ untuk makan adalah respons naluriah setelah menempuh perjalanan panjang yang melelahkan.

Pelajaran dari Kelelahan Fisik

Ayat ini mengajarkan bahwa meskipun seseorang memiliki kedudukan spiritual yang tinggi—bahkan seorang Nabi seperti Musa AS—mereka tetaplah manusia yang terikat oleh batasan fisik. Kelelahan ("nasaban") yang mereka rasakan adalah pengingat bahwa perjalanan menuntut ilmu, apalagi ilmu yang mendalam dan hakiki, memerlukan persiapan fisik dan kesabaran yang luar biasa.

Para ulama menafsirkan perjalanan ini sebagai metafora. Musa AS mewakili ilmu syariat (hukum yang tampak), sementara Khidir mewakili ilmu hakikat (kebijaksanaan tersembunyi). Untuk mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, terkadang kita harus melewati zona nyaman dan menerima kesulitan fisik maupun mental.

Mengapa Yusya’ yang Berbicara?

Menariknya, yang mengucapkan kalimat permintaan makanan adalah Yusya’ bin Nun, bukan Musa AS. Hal ini menunjukkan beberapa kemungkinan:

  1. Etika Kesopanan: Yusya’ mungkin merasa lebih ringan untuk meminta makan sebagai pelayan, sementara Musa ingin menjaga kehormatan dan konsentrasinya setelah berinteraksi dengan Khidir.
  2. Beban Kesabaran: Yusya’ mungkin telah mencapai batas kesabarannya lebih dulu, atau ia merasa perlu mengingatkan pemimpinnya bahwa waktu istirahat telah tiba sesuai janji awal mereka.
  3. Pengenalan Batasan: Tindakan Yusya’ ini adalah penanda alami bahwa tujuan bersama (mencari Khidir) telah selesai. Ia secara tidak langsung mengumumkan berakhirnya misi pencarian ilmu bersama tersebut.

Pentingnya Menjaga Janji dan Kesabaran

Meskipun ayat ini fokus pada kelelahan fisik, ia secara implisit mengingatkan Musa akan janjinya kepada Khidir. Kegagalan Musa untuk menahan diri dari pertanyaan pada ayat berikutnya (Ayat 74) terjadi karena ia terlalu fokus pada kebutuhan fisik dan emosionalnya saat itu, melupakan perjanjian untuk tidak mendahului Khidir dalam memberikan penilaian.

Kisah Al-Kahfi ayat 62, dengan permintaan makanan yang sederhana, menegaskan bahwa di tengah pencarian hikmah tertinggi, kita tidak boleh mengabaikan kebutuhan dasar kita, namun juga tidak boleh membiarkan kebutuhan dasar tersebut menjadi alasan untuk melanggar komitmen atau kehilangan fokus spiritual.

Perjalanan Musa dan Yusya’ adalah cermin bagi setiap penuntut ilmu: kita akan merasa letih, kita akan ingin menyerah, dan kita akan merasakan batas kemampuan kita. Namun, momen-momen kelelahan inilah yang sering kali mendahului perolehan ilmu yang lebih besar, asalkan kita tetap berpegang teguh pada janji dan kesabaran di hadapan misteri Ilahi.

🏠 Homepage