Surat Al-Kahfi (Gua) adalah salah satu surat terpanjang dalam Al-Qur'an yang memiliki keutamaan besar, terutama jika dibaca pada hari Jumat. Surat ini mengandung empat kisah utama yang berfungsi sebagai pelajaran hidup dan peringatan bagi umat manusia dalam menghadapi berbagai godaan dan cobaan dunia. Keempat kisah tersebut adalah Ashabul Kahfi (pemuda gua), pemilik dua kebun, kisah Nabi Musa dan Khidir, serta kisah Dzulkarnain.
Di tengah narasi-narasi besar tersebut, terdapat ayat-ayat yang memberikan penekanan kuat mengenai hakikat kehidupan dunia dan perbedaan antara orang yang beriman serta orang yang kufur. Salah satu ayat kunci yang merangkum perbedaan pandangan ini adalah Surat Al-Kahfi ayat 34.
Ilustrasi perbandingan konsep duniawi dan ukhrawi.
Ayat ini merupakan bagian dari dialog antara dua orang yang dibicarakan dalam konteks kisah pemilik dua kebun, di mana salah satunya membanggakan harta dan kekuasaannya.
Ayat 34 ini menyoroti puncak kesombongan dan kesempitan pandangan duniawi. Tokoh yang sombong ini (yang kemudian diazab oleh Allah SWT) tidak hanya fokus pada kuantitas kekayaannya ("Hartaku lebih banyak daripadamu"), tetapi juga pada aspek sosialnya ("jumlah pengikutku lebih kuat"). Kedua aspek ini—materi dan status sosial—seringkali menjadi tolak ukur kesuksesan di mata manusia yang lalai.
Penting untuk memahami bahwa Allah SWT menempatkan ayat ini dalam rangkaian kisah sebagai peringatan keras. Peringatan ini akan dijawab langsung pada ayat berikutnya (Ayat 35), di mana temannya yang beriman mengingatkannya bahwa kekuatan sejati datang dari Allah, dan semua kemegahan duniawi akan berakhir.
Pelajaran utama dari Al-Kahfi ayat 34 adalah pengingat bahwa segala bentuk kebanggaan duniawi—harta, jabatan, pengikut—adalah sementara dan semu. Bagi seorang Muslim, kriteria keunggulan yang sesungguhnya bukanlah yang ditampilkan oleh orang sombong tersebut, melainkan keimanan dan amal saleh yang menjamin kebahagiaan abadi di akhirat. Ayat ini mendesak pembaca untuk senantiasa waspada terhadap virus kesombongan yang muncul ketika kita merasa 'lebih' daripada orang lain dalam aspek materi atau status.
Melalui kisah ini, Allah SWT mengajarkan bahwa kekayaan yang melimpah dan pengaruh yang besar dapat menjadi ujian yang justru menjerumuskan pemiliknya ke dalam kesombongan dan kekufuran jika tidak diiringi dengan rasa syukur dan kesadaran akan keesaan Tuhan.